Rabu, 03 Juni 2015

The Geography of Bliss: Mencari Letak Kebahagiaan


Masih dalam rangka menantang diri di proyek #NulisRandom2015, ternyata baru hari ke dua sudah miskin ide. Untungnya ada banyak buku di rak, yang belum sempat dibuat resensinya. Jadi tampaknya, kelanjutan proyek ini ke depan adalah berjuang mencari ide, lalu kalau sudah mentok ambil buku secara acak dari lemari dan membuat resensi. Memaksa diri membaca ulang setiap buku dan menggali lebih dalam, rasanya tak ada jeleknya untuk orang yang bermimpi jadi penulis seperti saya.
Buku yang akan saya bahas kali ini adalah The Geography of Bliss: Kisah Seorang Penggerutu yang Berkeliling Dunia Mencari Negara Paling Membahagiakan. Buku ini ditulis oleh Eric Weiner, seorang jurnalis berkebangsaan Amerika Serikat, dan diterjemahkan oleh M. Rudi Atmoko untuk Penerbit Qanita, 2014.

Ngemplak-20150127-03796
Awalnya saya mengira buku ini adalah semacam buku traveling yang akan membawa pembaca keliling dunia sebagai wisatawan, disertai deskripsi dan aneka tips tentang masing-masing tujuan wisata di berbagai negara. Ternyata buku ini bukan panduan untuk para pelancong, melainkan untuk para pencari kebahagiaan. Eric Weiner mengajak pembaca berkeliling dunia sambil mengkaji negara mana yang penduduknya paling bahagia dan mana yang paling tak berbahagia. Saat penulis lain banyak membedah makna kebahagiaan, Weiner menandai di mana letak kebahagiaan dalam peta dunia.
Ada sepuluh negara yang dikunjungi Weiner dalam penyusunan buku ini. Tentu saja keragaman budaya dan cara hidup masyarakat masing-masing negara membuat persepsi tentang kebahagiaan juga tak seragam. Namun pada dasarnya semua manusia tahu apakah dirinya bahagia atau tidak. Musababnya bisa beraneka, namun rasa bahagia dapat dikenali sebagaimana rasa lapar atau jatuh cinta.
Saya tak akan membahas masing-masing negara secara berurutan sebagaimana format buku ini. Akan saya rangkum berdasar pertanyaan yang sering terlintas di benak saya tentang kebahagiaan.
Pertama, apakah kebebasan membuat orang bahagia? Kita bisa tanyakan ini kepada orang Belanda. Di negara ini, kebebasan sangat dihormati. Ganja dan prostitusi yang di negara lain bisa membuat seseorang dijatuhi hukuman mati, di Belanda legal. Toko-toko khusus dewasa, café yang bisa dikunjungi penduduk maupun turis untuk nge-fly, berdampingan dengan para imigran asal timur tengah berbusana tertutup yang cukup banyak mengisi kota-kota besar di Belanda. Kepercayaan yang berlawanan tidak menghasilkan pertikaian atau ketegangan.
Weiner membahasnya dengan profesor ahli kebahagiaan di Belanda. Kebahagiaan jelas berbeda dengan kesenangan. Toleransi itu sangat bagus, tapi bisa dengan mudah bergeser ke ketidakpedulian, dan itu sama sekali tidak menyenangkan. Begitu banyak kelonggaran tidak secara otomatis menjadikan orang bahagia. Ini berlawanan dengan apa yang disangka oleh mereka yang merindukan kebebasan mutlak.
Pertanyaan berikutnya, apakah uang membuat orang bahagia? Untuk menjawab hal ini, kita bisa berkunjung ke Qatar. Negara yang dulunya padang pasir gersang menjelma jadi salah satu negara super kaya berkat minyak. Orang-orangnya pun para individu super kaya yang hidup dengan standar tinggi. Kita tak akan menemukan sopir, pramuniaga, asisten rumah tangga, dan pekerjaan ‘rendahan’ semacam itu dikerjakan oleh orang Qatar. Semua pekerjaan itu diisi oleh para imigran dari negara yang tak terlalu kaya. Bahkan para awak pesawat, paramedis dan dosen pun mereka impor dari negara lain. Lalu di mana orang-orang Qatar? Menikmati kekayaannya, tentu.
Seperti orang kaya baru yang memenangkan lotre, orang Qatar menikmati menjadi kaya dengan cara yang berlebihan. Tak ada gedung yang tak mewah, tak ada fasilitas yang tidak luar biasa. Tapi, menurut Weiner, tak berjiwa. Hubungan antar manusianya, mentalitas ‘majikan’ yang menganggap semua orang asing pegawai yang bisa dibayar, persaingan antar suku atau keluarga bagai api dalam sekam. Di Qatar, uang berhasil membeli kemewahan, tapi tidak kebahagiaan.
Weiner tidak memasukkan negara-negara super miskin di Afrika dalam catatan perjalanan ini. Menurutnya, akan menjadi bias mengukur kebahagiaan di tempat yang kebutuhan dasar manusia seperti makan dan air belum terpenuhi. Namun Weiner mengunjungi sebuah negara yang hampir selalu menempati urutan terbawah pada indeks kebahagiaan. Negara ini tidak terletak di Afrika atau Asia, tapi di Eropa.
 Moldova adalah negara yang penduduknya sangat murung dan menyimpan ketidakpuasan pada banyak hal. Tidak ada peperangan atau konflik berarti di Moldova. Kemiskinan memang terasa, tapi tentu masih jauh di atas Nigeria atau Bangladesh. Masalahnya, orang Moldova tidak membandingkan diri dengan Nigeria dan Bangladesh. Mereka membandingkan diri dengan Jerman dan Italia. Jadi, apakah uang membawa kebahagiaan?  Mungkin jawabannya: tergantung seberapa kaya tetanggamu.
Lalu ada apa di negara yang paling bahagia? Di kepala sebagian orang barat, tempat yang membahagiakan adalah matahari sepanjang tahun, pantai yang indah untuk bersantai. Ternyata negara yang langganan memuncaki indeks kebahagiaan adalah Islandia, tempat penuh es yang dianaktirikan oleh matahari. Makanannya pun rasanya aneh, menurut penulis. Di negara ini seorang presiden tidak akan didemo jika tingkat inflasi naik, namun akan diprotes jika angka pengangguran bertambah. Inflasi tentu tidak menyenangkan, tapi semua orang merasakan bersama. Pengangguran menciptakan kesenjangan, dan itu salah satu sumber ketidakbahagiaan.
Islandia adalah negara yang dipenuhi oleh orang-orang gagal. Musisi yang tak kunjung masuk industri rekaman, penulis yang tak terkenal, pelukis dan pematung yang biasa-biasa saja. Tapi iklim kreatif di negeri ini sangat pekat. Rasa seni dan pengembangan budaya subur di mana-mana. Hebatnya, kegagalan dianggap sesuatu yang bagus. Orang-orang Islandia sangat menghargai proses, usaha seseorang dan bukan hasil akhirnya. Weiner meyakini bahwa salah satu sumber kebahagiaan Islandia adalah langkanya rasa iri. Jika sebuah band memerlukan gitar atau pengeras suara, band lain akan segera membantu tanpa bertanya. Budaya apresiasi, bukan kompetisi, menjauhkan rasa iri.
Untuk saya pribadi, negara yang paling menarik adalah Bhutan. Sebuah negara yang jarang terdengar, letaknya tersembunyi di balik pegunungan tinggi Himalaya. Di Bhutan, kebahagiaan adalah kebijakan negara. Saat negara lain menggunakan PDB sebagai indeks keberhasilannya sebagai negara, Bhutan menetapkan Kebahagiaan Nasional Bruto (KNB). Pemerintah dipandang gagal kalau warganya tidak bahagia.
Untungnya, rakyat Bhutan adalah orang-orang bahagia. Bukan karena sangat kaya atau punya kebebasan individu yang penuh. Kebahagiaan menurut definisi Bhutan adalah mengetahui berbagai keterbatasan Anda, mengetahui seberapa banyak adalah cukup. Kebahagiaan tidak bersifat individu, tapi komunal. Orang Bhutan menghargai hubungan dan harmoni.  Bagi rakyat Bhutan, kebahagiaan adalah usaha bersama.
Mungkin karena saya orang Asia, maka ide tentang bahagia sebagai sebuah harmoni lebih menarik bagi saya ketimbang konsep kebahagiaan individu. Kebahagiaan lebih bersifat spiritual daripada kebendaan atau kesenangan hedonisme.
Secara keseluruhan, Weiner menyajikan kisahnya dengan menarik. Jika buku traveling lain membuat orang ingin berkunjung ke tempat yang ditulis, buku ini memberikan efek yang berbeda. Bliss justru membuat pembaca merasa tertantang untuk menempuh perjalanan ke dalam diri sendiri, dan bertanya: apakah kau bahagia?
Bagi saya, jawabannya adalah: Ya, saya bahagia!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar