Setelah satu setengah tahun
menggeluti usaha bimbingan belajar, saya dan beberapa teman tiba-tiba terpikir
untuk membuat sebuah event organizer (EO). Mengapa harus EO? Awalnya karena
kami gerah dengan kesunyian kota ini dari kegiatan. Tentu saja tak benar-benar
sunyi, pentas artis ibukota sering meramaikan GOR kota ini dengan perusahaan
rokok sebagai sponsor utamanya. Saat demam batu akik melanda, berbagai pameran
dan festival akik juga turut menyemarakkan agenda kota.
Namun yang kami rindukan adalah
kegiatan-kegiatan serupa di kampus dulu. Seminar, training, workshop, semacam
itulah. Bidangnya bisa apa saja, mulai memasak hingga fotografi juga bisa.
Entah karena asing dengan acara-acara semacam itu, atau karena memang kultur
masyarakat kota ini yang tak suka belajar, bahkan ketika ada bookfair sepekan lamanya pun sepi
pengunjung. Itu adalah bookfair
tersunyi yang pernah saya kunjungi.
Di satu sisi kami cukup nekat
membuat EO di bidang ini, di tengah kultur masyarakat yang semacam ini. Akan
jauh lebih menguntungkan jika kami memutuskan untuk membuka café atau toko batu
akik. Tapi empat orang mantan aktivis kampus yang sekarang sudah emak-emak ini
benar-benar keras kepala. Pasar itu bisa diciptakan, yang terpenting mencoba
menumbuhkan budaya belajar di tengah masyarakat. Belajar apa saja, sesuai minat
masing-masing orang. Sedapat mungkin kami akan ciptakan berbagai pelatihan.
Masalah dapur, insya Allah sementara ini bimbingan belajar masih bisa
diandalkan meski tak bisa dipakai bermewah-mewahan.
Salah seorang dari kami punya
proyek pribadi untuk membuka bisnis online. Karena merasa tak berpengalaman,
dia berencana untuk mencari workshop tentang bisnis online di luar kota. Saat
itu muncul ide: mengapa harus mencari workshop kalau kita bisa mengadakannya?
Cari pembicara yang mumpuni tapi bisa dibayar dengan harga saudara, lalu adakan
pelatihan di sini. Ketok palu, inilah proyek pertama kami. Sebuah workshop
tentang bisnis online.
Masalahnya, pembicara hanya
punya waktu pada tanggal tertentu. Tanggal itu adalah sepekan dari saat kami
membuat keputusan awal. Belum lagi syarat bahwa peserta harus berasal dari
komunitas tertentu (karena bagi pembicara ini adalah proyek sosial, dengan
harga jauh di bawah biasanya). Maka demikianlah. Dalam waktu sepekan kami harus
mencari peserta sebanyak-banyaknya, tempat yang kalau bisa gratis, alat seperti
LCD proyektor, layar dan pelantang suara.
Peserta yang akhirnya kami
dapatkan adalah…. Lima orang! Sepanjang sejarah saya jadi panitia apa pun, baru pernah sebuah
workshop hanya mendapat lima peserta. Untungnya ini berbentuk workshop, peserta
justru merasa mendapat bimbingan eksklusif dari pembicara, praktik langsung
dengan komputer masing-masing seharian. Untuk meramaikan, panitia pun ikut jadi
peserta. Tak terbayang kalau acara berbentuk seminar atau talk show, hanya mendapat lima peserta. Pasti cukup untuk membuat
panitia mencari gua sebagai tempat persembunyian. Malu. Hehe..
Anggarannya bagaimana?
Alhamdulillah, setelah membayar fee
pembicara, makan siang peserta dan peminjaman tempat (ini numpang sebuah
sekolah, jadi uang sewa seikhlasnya), kami masih mendapat untung. Dua puluh
ribu rupiah! Karena panitia hanya berempat, masing-masing orang mendapat lima
ribu rupiah. Saya menertawakan diri sendiri hingga sakit perut mengingat ini J
Banyak yang harus dievaluasi di
sana-sini, terutama waktu yang hanya sepekan dan syarat peserta yang berasal
dari komunitas tertentu. Jika kami punya waktu lebih longgar dan peserta yang
lebih umum, dapat dipastikan kami bisa memperoleh lebih banyak audiens. Sebagai
sebuah proyek pertama, ini memacu kami untuk lebih kreatif sekaligus seksama
dalam menyusun acara ke depannya.
Sebagai pimpinan (cieee), saya
punya tugas untuk menjaga optimisme teman-teman meski hati saya sendiri ciut.
Saya sampaikan bahwa setidaknya hari itu kami mendapat makan siang gratis, ilmu
tentang bisnis online, lima orang kenalan baru, dan pengalaman mengadakan acara
di kota kecil yang sepi ini. Berjalan seribu langkah pun harus diawali dengan
langkah pertama, kan?
Tentang uang lima ribu rupiah
untuk masing-masing orang, tak perlu dibelanjakan. Baiknya dilaminating dan
dipajang di meja kerja masing-masing, sebagai pengingat pada proyek pertama EO
kami. Kelak kalau telah jadi perusahaan besar, uang lima ribu itu bisa jadi
bahan motivasi untuk para karyawan. Oh jangan salah, dalam hal ini saya tak
ciut. Insya Allah perusahaan kami akan berkembang, mewarnai kota mungil kami
tercinta. Doakan kami, Pemirsa!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar