Minggu, 07 Juni 2015

Proyek Pertama


Setelah satu setengah tahun menggeluti usaha bimbingan belajar, saya dan beberapa teman tiba-tiba terpikir untuk membuat sebuah event organizer (EO). Mengapa harus EO? Awalnya karena kami gerah dengan kesunyian kota ini dari kegiatan. Tentu saja tak benar-benar sunyi, pentas artis ibukota sering meramaikan GOR kota ini dengan perusahaan rokok sebagai sponsor utamanya. Saat demam batu akik melanda, berbagai pameran dan festival akik juga turut menyemarakkan agenda kota.
Namun yang kami rindukan adalah kegiatan-kegiatan serupa di kampus dulu. Seminar, training, workshop, semacam itulah. Bidangnya bisa apa saja, mulai memasak hingga fotografi juga bisa. Entah karena asing dengan acara-acara semacam itu, atau karena memang kultur masyarakat kota ini yang tak suka belajar, bahkan ketika ada bookfair sepekan lamanya pun sepi pengunjung. Itu adalah bookfair tersunyi yang pernah saya kunjungi.
Di satu sisi kami cukup nekat membuat EO di bidang ini, di tengah kultur masyarakat yang semacam ini. Akan jauh lebih menguntungkan jika kami memutuskan untuk membuka café atau toko batu akik. Tapi empat orang mantan aktivis kampus yang sekarang sudah emak-emak ini benar-benar keras kepala. Pasar itu bisa diciptakan, yang terpenting mencoba menumbuhkan budaya belajar di tengah masyarakat. Belajar apa saja, sesuai minat masing-masing orang. Sedapat mungkin kami akan ciptakan berbagai pelatihan. Masalah dapur, insya Allah sementara ini bimbingan belajar masih bisa diandalkan meski tak bisa dipakai bermewah-mewahan.
Salah seorang dari kami punya proyek pribadi untuk membuka bisnis online. Karena merasa tak berpengalaman, dia berencana untuk mencari workshop tentang bisnis online di luar kota. Saat itu muncul ide: mengapa harus mencari workshop kalau kita bisa mengadakannya? Cari pembicara yang mumpuni tapi bisa dibayar dengan harga saudara, lalu adakan pelatihan di sini. Ketok palu, inilah proyek pertama kami. Sebuah workshop tentang bisnis online.
Masalahnya, pembicara hanya punya waktu pada tanggal tertentu. Tanggal itu adalah sepekan dari saat kami membuat keputusan awal. Belum lagi syarat bahwa peserta harus berasal dari komunitas tertentu (karena bagi pembicara ini adalah proyek sosial, dengan harga jauh di bawah biasanya). Maka demikianlah. Dalam waktu sepekan kami harus mencari peserta sebanyak-banyaknya, tempat yang kalau bisa gratis, alat seperti LCD proyektor, layar dan pelantang suara.
Peserta yang akhirnya kami dapatkan adalah…. Lima orang! Sepanjang sejarah saya  jadi panitia apa pun, baru pernah sebuah workshop hanya mendapat lima peserta. Untungnya ini berbentuk workshop, peserta justru merasa mendapat bimbingan eksklusif dari pembicara, praktik langsung dengan komputer masing-masing seharian. Untuk meramaikan, panitia pun ikut jadi peserta. Tak terbayang kalau acara berbentuk seminar atau talk show, hanya mendapat lima peserta. Pasti cukup untuk membuat panitia mencari gua sebagai tempat persembunyian. Malu. Hehe..
Anggarannya bagaimana? Alhamdulillah, setelah membayar fee pembicara, makan siang peserta dan peminjaman tempat (ini numpang sebuah sekolah, jadi uang sewa seikhlasnya), kami masih mendapat untung. Dua puluh ribu rupiah! Karena panitia hanya berempat, masing-masing orang mendapat lima ribu rupiah. Saya menertawakan diri sendiri hingga sakit perut mengingat ini J
Banyak yang harus dievaluasi di sana-sini, terutama waktu yang hanya sepekan dan syarat peserta yang berasal dari komunitas tertentu. Jika kami punya waktu lebih longgar dan peserta yang lebih umum, dapat dipastikan kami bisa memperoleh lebih banyak audiens. Sebagai sebuah proyek pertama, ini memacu kami untuk lebih kreatif sekaligus seksama dalam menyusun acara ke depannya.
Sebagai pimpinan (cieee), saya punya tugas untuk menjaga optimisme teman-teman meski hati saya sendiri ciut. Saya sampaikan bahwa setidaknya hari itu kami mendapat makan siang gratis, ilmu tentang bisnis online, lima orang kenalan baru, dan pengalaman mengadakan acara di kota kecil yang sepi ini. Berjalan seribu langkah pun harus diawali dengan langkah pertama, kan?
Tentang uang lima ribu rupiah untuk masing-masing orang, tak perlu dibelanjakan. Baiknya dilaminating dan dipajang di meja kerja masing-masing, sebagai pengingat pada proyek pertama EO kami. Kelak kalau telah jadi perusahaan besar, uang lima ribu itu bisa jadi bahan motivasi untuk para karyawan. Oh jangan salah, dalam hal ini saya tak ciut. Insya Allah perusahaan kami akan berkembang, mewarnai kota mungil kami tercinta. Doakan kami, Pemirsa!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar