Minggu, 31 Mei 2015

TENTANG DIA

            Ini sebuah kisah tentang cinta, persahabatan dan komitmen. Ini kisah tentang aku dan dia. Bagiku, namanya nyaris seperti legenda. Menggetarkan hati, dan terkadang mengalirkan air mata. Kisah metamorfosaku mendewasa, mustahil melewatkan namanya.
Aku tak ingat betul kapan persisnya pertama kali berjumpa dengannya. Bukan pertemuan yang cukup istimewa untuk dikenang, rasanya. Tapi memang begitulah dia, sederhana. Lebih sering mengambil peran sebagai latar ketimbang jadi tokoh utama. Saat dia tak ada, baru terasa alangkah berharganya.
Saat itu, sekitar sebelas tahun yang lalu. Aku adalah mahasiswi tingkat akhir dengan beragam amanah di luar skripsi. Kehidupan pribadi pun tak kalah memusingkan, tengah menghadapi ujian kepercayaan dengan sahabat-sahabat terdekat. Aku memutuskan menyingkir sejenak dari komunitas, mencari tempat yang lebih tenang. Rumah kos baru, teman-teman baru, lingkungan baru dan kebiasaan baru.
Ternyata pendatang baru di rumah itu bukan hanya aku. Ada dia, yang mulanya kuduga pria. Rupanya wanita yang menyembunyikan kejelitaannya. Mungkin memang rumah sejuk itu tempat ideal bagi wanita-wanita galau seperti kami untuk memulihkan diri. Dan bukan hal yang sulit memulai persahabatan bagi dua perempuan yang sama-sama tengah terluka.
Dia sedikit sekali bicara. Pendengar yang seksama. Tahun pertama itu, bagiku dia sama sekali belum terlihat istimewa. Hanya perempuan pendiam yang datang dan pergi sesukanya. Tapi semakin lama pemain latar ini makin disadari keberadaanya oleh penghuni rumah kos. Mulai dicari kalau tengah pergi, meski lebih banyak diabaikan saat dia kelihatan.
Setelah lulus dan bekerja, hubunganku dengan rumah kos itu bagai kekasih tanpa ikatan. Kerja di mana pun, tinggal di mana pun, ke situlah aku merasa pulang. Akhir pekan, atau kalau ada sedikit liburan, di rumah itulah aku istirahatkan lelah. Aku bukan penghuni tetap lagi, tentu. Hanya tamu tetap yang dimaklumi oleh penghuni kos yang berganti-ganti. Di luar dugaan, dia pun masih menjadi tamu tetap di sana. Setiap bertemu dengannya, aku merasa semakin senasib. Tamu tetap yang datang dan pergi sesukanya. Datang membawa luka-luka pertempuran dari luar sana, lalu pergi lagi usai mengisi energi.
Dengan para penghuni rumah kos yang kini jauh lebih muda, aku lebih banyak berbagi tawa. Tapi dengannya, aku membagi semua kepedihan dan luka. Kadang dengan bercerita, tapi lebih sering tanpa kata-kata. Dia, seperti biasa, lebih banyak diam menyimak. Sebagian besar pertemuan kami hanya berisi adegan duduk berdampingan tanpa suara. Pun dengan begitu kami tahu bahwa kami tengah saling menyembuhkan.
Tahun berganti, dan kami berdua semakin tua. Wajah dan semangat kami bisa jadi masih semuda saat pertama berjumpa. Namun kami sama-sama tahu, banyak luka-luka meninggalkan jejak lebih dalam daripada kelihatannya. Bahkan sampai di tahap ini pun aku merasa tak punya ikatan. Hanya teman dalam diam. Tapi rupanya benar juga kata orang, pada suatu masa kita akan lupa segala caci maki musuh kita, tapi takkan lupa diamnya seorang sahabat.
Perjalanan hidup membawaku pada sebuah keputusan besar: hijrah ke kota kelahiran. Segalanya tampak sesuai rencana, tapi sama sekali tidak sederhana. Kota itu menjadi ruangku mendewasa, tiga belas tahun lamanya. Aku harus mengucapkan selamat tinggal pada seluruh komunitasku, gaya hidupku, kenangan-kenanganku, rumah kos itu, dan memulai hidup di tempat baru.
Tak kusangka bagian terberat dari episode ini adalah berpisah dengannya. Dia hanya diam menyaksikanku berkutat dengan berkardus-kardus buku, mondar-mandir tanpa bicara saat aku menata baju. Dia tau aku akan pergi, aku yakin itu. Tapi dia juga tau bahwa tak ada yang bisa dia lakukan untuk mencegah atau membersamai pergiku.
Saat memeluknya sore itu, aku baru tahu bahwa aku menyayanginya lebih dari yang selama ini kuduga. Untuknya kutinggalkan baju yang pekat dengan aromaku. Semoga bisa membuatnya merasa selalu dalam pelukanku. Aku merasa jadi terjahat sedunia, meninggalkannya dengan kemungkinan bertemu sepersejuta.
Berbulan-bulan kemudian, dalam mimpiku dia sering bertandang. Tetap pendiam, sebagaimana lazimnya dia. Dalam tatapnya dia mengutip Antoine de Saint Exupery: “Kau harus bertanggung jawab selamanya atas apa yang telah kau jinakkan”. Lalu aku menemukan diriku terbangun dengan mata basah.
Menjinakkan, artinya menciptakan ikatan. Begitu kata Rubah pada Pangeran Kecil di buku itu. Aku terlambat menyadari, bahwa waktu telah membuat aku dan dia saling menjinakkan. Baginya, aku tidak sama dengan manusia yang lain. Begitu pun dia bagiku. Aku terlambat, dan kerenanya aku gagal bertanggung jawab.
Dia menjadi pengingatku akan ikatan-ikatan lain dalam hidupku. Komitmen-komitmen yang kubuat dengan diri sendiri, orang-orang di sekitarku, pekerjaan, persahabatan, percintaan. Aku harus membiarkan diriku dijinakkan. Mengizinkan diri menciptakan ikatan, tanpa mesti membangun penjara dan kehilangan kebebasan.
Seekor kucing hitam yang manis memasuki hidupku. Lalu membawa serta serombongan anak-anak yang lucu. Mengambil alih tugasnya untuk mengingatkan aku tentang makna komitmen dan tanggung jawab. Menjadi guru-guru baru tentang cinta dan kehidupan.
Meski begitu, dalam hatiku ada ruang yang istimewa. Sebuah nama tergantung di pintunya. Siti Thoyyibah. 

Passion dan Action


Saya selalu terdiam dan berpikir lama setiap kali mendapat pertanyaan ini: “Apa sih passion-mu?”
Rasanya iri melihat teman-teman yang begitu yakin pada arah hidupnya, bahkan sejak berusia sangat muda. Ada yang dari kecil jago dagang, lalu kuliah di Fakultas Ekonomi, lanjut jadi pengusaha. Yang suka bertualang, masuk Fakultas Kehutanan, begitu lulus ikut tes CPNS dan kini berkarya di Kementerian Kehutanan. Yang suka mengajari teman buat PR, di kemudian hari menjadi guru.
Tak sedikit pula kawan yang tadinya nyasar, lalu tiba-tiba menemukan passion usai lulus kuliah. Mereka yang jadi jurnalis atau pegawai bank padahal alumni IPB (katanya sih Institut Pleksibel Banget), arsitek yang menjadi pengajar di sekolah, atau seniman yang memilih ganti haluan jadi politisi, termasuk dalam golongan ini. Kenyataannya mereka menikmati profesinya saat ini, meski tak ada hubungannya dengan latar belakang pendidikannya.
Saya? Oke baiklah. Random is my middle name. Minat yang luas, bukan mendalam. Mencoba berbagai hal, dan tak menjadi ahli dalam bidang apa pun. Tertarik pada sesuatu, bersemangat sesaat, lalu kehilangan minat. Konsentrasi seumur kembang api, nyalanya benderang tapi lantas padam. Kalau terjadi pada remaja 17 tahun, tak masalah. Usia saya kini hampir dua kali lipat angka itu!
Saat teman-teman mulai mapan, saya belum jadi apa-apa. Mereka sudah bicara tentang anak-anak, cicilan rumah, investasi, sementara saya tertinggal jauh di belakang. Sejak lulus kuliah, saya sudah bekerja di 7 tempat berbeda. Kuliah S2 tak selesai karena kehilangan minat begitu saja saat tiba saatnya menyusun tesis. Menikah? Mengapa semua orang harus menikah?
Saya baru saja mendapat tender sebuah proyek pemerintah di Jakarta ketika tiba-tiba tanpa alasan yang jelas, memutuskan untuk pulang kampung. Proyek itu dilimpahkan pada seorang teman. Mendapat pekerjaan yang bagus kurang dari sepekan setelah sampai di kota kelahiran, tak berhasil membuat saya bertahan lebih dari setahun. Resign, membangun bisnis sendiri yang saya pun tak yakin apakah ini sesuai passion.
Bisnis apa yang dibangun? Pertama, bimbingan belajar. Saya suka mengajar, bertemu anak-anak, tapi benci setengah mati membuat rencana pengajaran, merekap nilai, membuat rapor, dan segala tetek bengek urusan administrasi. Bimbingan belajar (dalam benak saya) adalah sekolah dengan sistem administrasi yang jauuuh lebih sederhana. Tentu, saya tetap mempekerjakan  seorang yang khusus menangani administrasi.
Ke dua, Event Organizer. Ini usaha yang paling mirip dengan gambaran kembang api. Heboh meski sesaat. Bekerja dengan penuh semangat dalam satu project singkat , lalu beralih pada project lain sebelum sempat bosan. Setiap saat bertemu masalah baru, klien baru, acara baru, orang-orang yang selalu baru.
Terakhir, sebuah usaha penerbitan. Ini sebenarnya demi membungkam mimpi kecil saya jadi penulis. Mengingatkan saya untuk selalu menulis. Buku dan dunia literasi selalu menarik, meski saya tak pernah menghasilkan satu buku pun. Penerbit mungil berskala lokal saya ini baru menerbitkan buku-buku anak sekolah. Kumpulan puisi siswa SD, buku tahunan sekolah, dan tentu modul untuk bimbel saya sendiri.
Ini sudah tahun ke dua sejak saya memutuskan pulang ke kota kelahiran. Belum kaya, jelas. Masih jauh sekali dari mapan. Tapi saya belajar sesuatu yang lama sekali gagal saya pahami: tanggung jawab.
Sebagai karyawan, selama ini saya berusaha melakukan yang terbaik. Namun begitu ada masalah dan ketidakcocokan dengan atasan, saya dengan mudah memutuskan resign. Sebagai pemilik usaha, tak semudah itu lari dari masalah. Ada orang lain yang ikut cari makan. Ada nasib orang di belakang setiap keputusan. Orang-orang luar biasa yang diam-diam menjadi guru saya dalam banyak hal.
Saya masih random, tentu. Tiba-tiba berencana kuliah lagi di bidang baru, menjadwalkan traveling ke tempat baru setiap tahun, mengizinkan diri libur dari kerja kapan pun merasa harus libur. Tapi saya mulai belajar berdamai dengan jadwal, merapihkan keuangan, menahan keinginan untuk target yang lebih besar.
Jadi, apakah saya sudah menemukan passion? Entahlah. Tapi kini saya meyakini bahwa hidup adalah rangkaian action. Bergerak saja, memastikan roda kehidupan berputar, nikmati setiap prosesnya. Lalu puzzle raksasa ini akan menemukan kepingan-kepingan penggenapnya.

Menulis Random?

Tidak ada yang aneh dengan random. Saya adalah manusia paling random yang pernah saya kenal.
Tidak ada yang aneh dengan menulis. Dari dulu saya ingin jadi penulis. Tapi belum juga. Mengapa? Karena random!

Maka ketika Nulisbuku mengajak menulis random setiap hari agar orang terbiasa menulis dan menata pikiran, saya pikir menarik. Menulislah dengan random untuk menata pikiran. Jalan untuk menata sesuatu adalah dengan sebuah kegiatan acak? Mmm... oke....

Kata kuncinya pada RUTIN. memang random, tapi setiap hari. Satu paragraf pun tak mengapa. Tentang apa pun boleh. Yang penting setiap hari. Mulai masuk akal. Untuk seseorang yang random, konsisten adalah kata yang nyaris mustahil.

Tapi nyaris bukan berarti mustahil.

Maka saya terima tantangan ini.