Akhir pekan kemarin, Bapak
pulang dari luar kota membawa banyak ikan asin. Semacam oleh-oleh standar yang
akan dibeli seseorang yang berasal dari daerah tanpa laut saat berkunjung ke
kota berpantai. Sejumlah jambal roti yang tampak menggiurkan, ikan layur panjang-panjang
dan dua pak kecil berisi ikan teri. Masalahnya, mau diapakan?
Kota kecil kami adalah
penghasil ikan air tawar. Pasar ikan di sini tak pernah sepi. Tapi tak pernah
ada yang mengasinkan ikan air tawar. Bahkan kakak yang kini tinggal di kota
berpantai, selalu membawa hasil laut dalam keadaan segar. Bukan berarti tak
pernah makan ikan asin sama sekali, tapi biasanya hanya disuguhi atau
dimasakkan. Mengolahnya pernah beberapa kali saat di Bogor (orang Sunda senang
sekali ikan asin), tapi tak pernah pas di lidah. Asinnya terlalu berlebihan.
Bapak paham betul keadaan ini,
jadi beliau menyempatkan bertanya pada penjualnya, bagaimana cara mengolah ikan
asin yang benar. Tips yang beliau dapatkan adalah mencuci si ikan asin dengan
air garam. Terdengar masuk akal, sesuai dengan prinsip difusi dan osmosis.
Garam dalam tubuh ikan akan keluar karena di sekelilingnya ada larutan garam dengan
konsentrasi rendah. Terus begitu sampai terjadi kesetimbangan konsentrasi larutan
garam di dalam dan di luar tubuh ikan.
Sebelum mengolah, saya mengetes
ikan asin ini dengan memberikannya pada kucing. Ternyata mereka mau makan.
Syukurlah. Beberapa kali pernah mencoba memberi ikan asin, mereka tak pernah
mau makan. Kali ini mereka bersedia mencicipi. Semoga itu artinya ikan asin
kali ini bebas formalin.
Agar efektif, yang saya lakukan
bukan mencuci tapi merendam dengan air hangat yang dilaruti garam. Rendaman ini
saya biarkan selama setengah jam. Asumsi saya, dibutuhkan waktu untuk mencapai
kesetimbangan konsentrasi larutan. Setelah lewat setengah jam, ikan asin saya
cuci lagi dengan air tawar, baru dimasak. Jenis masakannya pun berkecap, dengan
harapan rasa kecap manis akan mengurangi asinnya. Setelah matang saya cicipi,
dan rasanya... ASIN!
Tak terbayang berapa banyak
garam yang digunakan oleh pengrajin ikan asin ini. Bahkan setelah direndam air
garam pun masih seasin ini rasanya. Melirik pada tumpukan ikan asin yang masih
tersisa, saya jadi makin penasaran. Tak mungkin ikan sebanyak ini harus dibuang
gara-gara terlalu asin. Para kucing bisa hipertensi kalau harus menghabiskan
ikan asin sebanyak ini.
Jadi yang saya lakukan
selanjutnya adalah meminta saran kepada sesepuh yang bijaksana dan terkenal serbatahu.
Kami biasa memanggil beliau Mbah Google. Beberapa saran yang saya dapatkan
antara lain:
ü
Merendam
ikan asin dalam air garam
ü
Merendam
ikan asin bersama dengan kertas buram atau kertas koran (kertasnya menutupi
permukaan ikan)
ü
Merendam
ikan asin dalam air hangat yang ditambahkan asam jawa.
Alih-alih
memilih salah satu, saya melakukan semuanya pada perobaan ke dua ini. Pertama, saya
rendam si ikan dalam larutan garam konsentrasi rendah selama setengah jam. Lalu
airnya diganti dengan air tawar, ikannya dimasukkan bersama kertas buram.
Proses ini memakan waktu setengah jam lagi. Terakhir, setelah kertas dibuang
dan ikan dicuci, saya merendamnya dalam larutan air hangat dan asam jawa.
Ikan
itu tidak saya masak aneh-aneh, hanya digoreng tanpa tambahan apa pun.
Pasalnya, saya penasaran dengan rasa si ikan setelah mengalami tiga perlakuan
di atas. Usai menggoreng, saya pun tak sabar untuk mencicipi. Rasanya.... asin.
Kali
ini kata asin ditulis dengan huruf kecil, tak separah percobaan pertama. Tapi
tetap asin. Saya berharap rasa yang lebih netral dari ini. Mungkin memang ekspektasi
saya yang berlebihan. Namanya juga ikan asin, rasanya ya asin. Saya dengan
mudah menoleransi rasa asinan sayur dan telur asin, tapi si ikan asin ini
benar-benar kasus yang berbeda.
Masih
banyak ikan asin yang tersisa, dan masih tersisa pula rasa penasaran saya.
Sepertinya akan ada percobaan-percobaan selanjutnya. Ada yang bersedia berbagi
tips?
Emang saya juga sebel sama ikan yang diawetkan terlalu asin. Kalau ingin ikan kering biasanya beli ikan bilis singkarak khas Padang yang tidak asin. Tapi sejak tinggal di Batam belum pernah ketemu penjual ikan bilis singkarak. Jarang masak ikan asin sih karena orang rumah pada darah tinggi. Tapi kalau pun masak biasanya ikan asin digunakan sebagai bahan campuran bukan bahan utama. Pengolahan ikan asin dimulai dengan merebusnya sebentar lalu dibiarkan semalaman. Keesokan harinya baru ditiriskan, dipotong kecil-kecil dan digoreng sampai garing. Potongan ikan asin biasanya dimasukkan kedalam masakan sambal ijo, nasi liwet, nasi goreng atau tumisan sayur. Waktu naburin ikan asin garing, saya ngebayanginnya kaya ngasih garam ke dalam masakan. Jadi masakan utama nggak usah terlalu asin.
BalasHapusKucing jangan dikasi ikan asin deh. Sepertinya mereka tidak membutuhkan garam dalam menu mereka. Tapi boleh juga digunakan sebagai tester keberadaan formalin khekhekhe..
Ahayy... terima kasih, Suhu! Saya langsung coba teknik merebus. Sebelumnya tetap pakai perlakuan air garam dan kertas buram sih. Teknik ini benar-benar sukses untuk ikan layur!
BalasHapusSekarang saya sedang coba melakukan hal yang sama untuk ikan jambal roti. Jenis ini tebal, jadi sepertinya lebih sulit mengeluarkan garamnya. Malam ini sudah direbus, besok pagi baru akan diolah. Doakan saya ya! Hehe
Alhamdulillah syukurlah kalau berhasil :D.
BalasHapusGampang saja, rendam ikan asinnya pke air cucian Beras.... Rasa garamx langsung berkurang.... Selamat mencoba....
BalasHapusGampang saja, rendam ikan asinnya pke air cucian Beras.... Rasa garamx langsung berkurang.... Selamat mencoba....
BalasHapus