Ini sebuah kisah tentang cinta,
persahabatan dan komitmen. Ini kisah tentang aku dan dia. Bagiku, namanya
nyaris seperti legenda. Menggetarkan hati, dan terkadang mengalirkan air mata.
Kisah metamorfosaku mendewasa, mustahil melewatkan namanya.
Aku tak ingat betul kapan
persisnya pertama kali berjumpa dengannya. Bukan pertemuan yang cukup istimewa
untuk dikenang, rasanya. Tapi memang begitulah dia, sederhana. Lebih sering
mengambil peran sebagai latar ketimbang jadi tokoh utama. Saat dia tak ada,
baru terasa alangkah berharganya.
Saat itu, sekitar sebelas tahun
yang lalu. Aku adalah mahasiswi tingkat akhir dengan beragam amanah di luar
skripsi. Kehidupan pribadi pun tak kalah memusingkan, tengah menghadapi ujian
kepercayaan dengan sahabat-sahabat terdekat. Aku memutuskan menyingkir sejenak
dari komunitas, mencari tempat yang lebih tenang. Rumah kos baru, teman-teman
baru, lingkungan baru dan kebiasaan baru.
Ternyata pendatang baru di
rumah itu bukan hanya aku. Ada dia, yang mulanya kuduga pria. Rupanya wanita
yang menyembunyikan kejelitaannya. Mungkin memang rumah sejuk itu tempat ideal
bagi wanita-wanita galau seperti kami untuk memulihkan diri. Dan bukan hal yang
sulit memulai persahabatan bagi dua perempuan yang sama-sama tengah terluka.
Dia sedikit sekali bicara.
Pendengar yang seksama. Tahun pertama itu, bagiku dia sama sekali belum
terlihat istimewa. Hanya perempuan pendiam yang datang dan pergi sesukanya.
Tapi semakin lama pemain latar ini makin disadari keberadaanya oleh penghuni rumah
kos. Mulai dicari kalau tengah pergi, meski lebih banyak diabaikan saat dia
kelihatan.
Setelah lulus dan bekerja,
hubunganku dengan rumah kos itu bagai kekasih tanpa ikatan. Kerja di mana pun,
tinggal di mana pun, ke situlah aku merasa pulang. Akhir pekan, atau kalau ada
sedikit liburan, di rumah itulah aku istirahatkan lelah. Aku bukan penghuni
tetap lagi, tentu. Hanya tamu tetap yang dimaklumi oleh penghuni kos yang
berganti-ganti. Di luar dugaan, dia pun masih menjadi tamu tetap di sana.
Setiap bertemu dengannya, aku merasa semakin senasib. Tamu tetap yang datang
dan pergi sesukanya. Datang membawa luka-luka pertempuran dari luar sana, lalu
pergi lagi usai mengisi energi.
Dengan para penghuni rumah kos
yang kini jauh lebih muda, aku lebih banyak berbagi tawa. Tapi dengannya, aku
membagi semua kepedihan dan luka. Kadang dengan bercerita, tapi lebih sering
tanpa kata-kata. Dia, seperti biasa, lebih banyak diam menyimak. Sebagian besar
pertemuan kami hanya berisi adegan duduk berdampingan tanpa suara. Pun dengan
begitu kami tahu bahwa kami tengah saling menyembuhkan.
Tahun berganti, dan kami berdua
semakin tua. Wajah dan semangat kami bisa jadi masih semuda saat pertama
berjumpa. Namun kami sama-sama tahu, banyak luka-luka meninggalkan jejak lebih
dalam daripada kelihatannya. Bahkan sampai di tahap ini pun aku merasa tak
punya ikatan. Hanya teman dalam diam. Tapi rupanya benar juga kata orang, pada
suatu masa kita akan lupa segala caci maki musuh kita, tapi takkan lupa diamnya
seorang sahabat.
Perjalanan hidup membawaku pada
sebuah keputusan besar: hijrah ke kota kelahiran. Segalanya tampak sesuai
rencana, tapi sama sekali tidak sederhana. Kota itu menjadi ruangku mendewasa,
tiga belas tahun lamanya. Aku harus mengucapkan selamat tinggal pada seluruh komunitasku,
gaya hidupku, kenangan-kenanganku, rumah kos itu, dan memulai hidup di tempat
baru.
Tak kusangka bagian terberat
dari episode ini adalah berpisah dengannya. Dia hanya diam menyaksikanku
berkutat dengan berkardus-kardus buku, mondar-mandir tanpa bicara saat aku
menata baju. Dia tau aku akan pergi, aku yakin itu. Tapi dia juga tau bahwa tak
ada yang bisa dia lakukan untuk mencegah atau membersamai pergiku.
Saat memeluknya sore itu, aku baru
tahu bahwa aku menyayanginya lebih dari yang selama ini kuduga. Untuknya
kutinggalkan baju yang pekat dengan aromaku. Semoga bisa membuatnya merasa
selalu dalam pelukanku. Aku merasa jadi terjahat sedunia, meninggalkannya
dengan kemungkinan bertemu sepersejuta.
Berbulan-bulan kemudian, dalam
mimpiku dia sering bertandang. Tetap pendiam, sebagaimana lazimnya dia. Dalam
tatapnya dia mengutip Antoine de Saint Exupery: “Kau harus bertanggung jawab
selamanya atas apa yang telah kau jinakkan”. Lalu aku menemukan diriku
terbangun dengan mata basah.
Menjinakkan,
artinya menciptakan ikatan.
Begitu kata Rubah pada Pangeran Kecil di buku itu. Aku terlambat menyadari,
bahwa waktu telah membuat aku dan dia saling menjinakkan. Baginya, aku tidak
sama dengan manusia yang lain. Begitu pun dia bagiku. Aku terlambat, dan
kerenanya aku gagal bertanggung jawab.
Dia menjadi pengingatku akan
ikatan-ikatan lain dalam hidupku. Komitmen-komitmen yang kubuat dengan diri
sendiri, orang-orang di sekitarku, pekerjaan, persahabatan, percintaan. Aku
harus membiarkan diriku dijinakkan.
Mengizinkan diri menciptakan ikatan, tanpa mesti membangun penjara dan
kehilangan kebebasan.
Seekor kucing hitam yang manis
memasuki hidupku. Lalu membawa serta serombongan anak-anak yang lucu. Mengambil
alih tugasnya untuk mengingatkan aku tentang makna komitmen dan tanggung jawab.
Menjadi guru-guru baru tentang cinta dan kehidupan.
Meski begitu, dalam hatiku ada
ruang yang istimewa. Sebuah nama tergantung di pintunya. Siti Thoyyibah.
Thoyyib... The Super Cat :D. Aku iri dengan Nobita yang punya 'pintu kemana saja'. Bisa tidak, selama belum ditemukan, kita anggap saja mimpi itu seperti 'pintu kemana saja'? Pintu kemana saja yang mengantarkan kita ke dunia pararel yang berbeda. Mungkin disuatu dunia pararel yang lain, saat ini Thoyyib, anak-anaknya, dirimu sedang duduk di ruang tamu itu dan aku sedang meng-copy film Korea.
BalasHapusAyo mbak ikutan #NulisRandom2015
BalasHapusmenata isi kepala :D