Selasa, 09 Juni 2015

Kisah Kucing (Part I)

Konon katanya, orang bergolongan darah B cenderung untuk menjadi cat person. Secara umum, memang hampir semua teman B yang saya kenal adalah penyayang binatang. Dengan dua perkecualian. Saya punya dua orang teman  bergolongan darah B yang justru phobia pada kucing. Mungkin tepatnya begini: orang yang bergolongan darah B cenderung memiliki hubungan emosional dengan kucing. Bisa positif atau negatif. Tapi saya bukan hendak membahas golongan darah di sini. Saya hanya akan bercerita tentang hubungan emosional saya sendiri dengan kucing.
Sejak saya masih sangat kecil, seingat saya rumah ini sering dianggap tempat bersalin kucing. Mungkin karena memang rumah ini berantakan, ada sudut-sudut yang memungkinkan dipakai induk kucing untuk beranak. Mungkin juga karena kami para penghuni rumah ini relatif baik pada kucing. Tidak memanjakan, tapi juga bukan orang-orang kejam yang suka mengusir kucing dengan menyiram air panas (atau bahkan minyak panas!). Tak pelit berbagi makan, meski hanya tulang ikan.
Jadi hampir setiap musim kucing beranak, ada bayi kucing di rumah ini. Hanya numpang beranak, lalu sang induk memindahkan bayi-bayi kucing entah ke mana. Mitos yang beredar di kampung kami, bayi kucing akan dibawa pindah tujuh kali oleh induknya. Ini semua dilakukan demi keamanan bayi-bayi kucing dari ancaman ayah mereka. Saya sendiri tak pernah melihat kejadian menyeramkan kucing pejantan memangsa bayi-bayinya, sih. Tapi bahwa induk kucing rajin sekali memindahkan bayi, saya menjadi saksi.
Kucing yang sampai besar ada di rumah adalah dua bersaudara si Ireng dan si Merah. Sebenarnya si Merah ini berwarna orange, tapi entah mengapa bagi orang kampung saya warna kucing seperti itu disebut merah. Mereka berdua menjadi teman-teman saya sejak masih bayi, sedangkan saya kelas 3 SD. Dengan merekalah saya pertama kali mengajak kucing mengobrol. Biasanya kata-kata saya pada kucing mana pun hanya instruksi atau memberi makan.
Si Ireng ini hampir seluruh tubuhnya berwarna hitam, kecuali bagian perut dan keempat kakinya (sehingga terlihat seperti mengenakan kaos kaki). Dia kucing yang garang, terlihat maskulin sejak masih bocah. Ahli dalam berburu tikus, bahkan dari usianya sangat muda. Saudaranya, si Merah, relatif lebih pendiam. Waktu masih bayi, kami mengira dia adalah kucing betina. Begitu memasuki usia beberapa bulan, barulah tampak kejantanannya.
Saat kelas empat SD, saya pernah menangis sesorean karena si Ireng tidak dapat ditemukan di mana pun. Bapak dan ibu ikut panik, karena saya bukan tipe anak yang gampang menangis. Mereka dibantu kakak, sibuk mencari ke mana-mana. Saya tetap menangis di rumah, ditemani si Merah yang bingung melihat kelakuan saya. Rupanya si Ireng tak pergi jauh, hanya ikut nonton tivi di rumah tetangga sebelah. Saya memeluknya sambil menangis saat bapak membawanya pulang.
Bapak memberi petuah panjang bahwa memang begitulah kucing, saya tak boleh melarangnya bermain. Selama ini mereka ada di rumah karena memang masih kecil. Selanjutnya mereka akan mulai bertualang, berburu, tidur di atap melindungi rumah kami dari tikus. Kucing itu bukan boneka yang bisa dimiliki sepenuhnya. Mereka punya kehidupan sendiri. Tak terlalu mengerti, saya mengusap air mata sambil tetap memeluk si Ireng.
Petuah Bapak benar juga, setelah itu kedua anak kucing manis rumahan itu mulai rajin pergi. Hanya pulang kalau lapar saja. Waktu itu rasanya kesal sekali, seperti diabaikan oleh sahabat. Tapi lama kelamaan saya juga sibuk dengan teman-teman manusia, tugas sekolah dan berbagai lomba yang mulai saya ikuti. Sesekali masih ngobrol dengan mereka, terutama si Ireng, kalau kami sedang sama-sama di rumah.
Masa kecil saya cukup ‘rusak’ gara-gara kelakuan teman-teman berbulu ini. Di kelas lima, untuk pertamakalinya saya mengenal konsep hubungan sesama jenis. Si Ireng dan si Merah yang sama-sama pejantan melakukan adegan mesum! Sudah incest, gay pula. Awalnya saya syok, dan memarahi mereka berdua. Tapi mereka tak pernah peduli, tetap saja mempertontonkan adegan mesum itu pada anak di bawah umur seperti saya. Hih!
Lewat masa SD, saya benar-benar sibuk dengan dunia saya sendiri. Si Ireng dan si Merah pun mengurusi hidup mereka sendiri. Kami semakin jarang bertemu. Tapi mereka memberi pengalaman pertama tentang pertemanan saya dengan kucing. Musim-musim berikutnya, rumah ini masih dipakai para induk untuk beranak. Tak ada lagi yang menetap sampai dewasa. Hanya numpang lahir lalu pindah lagi, seperti sebelum kedatangan dua teman saya.

Saat masuk SMA, saya meninggalkan rumah dan kos di luar kota. Tentu, tak boleh membawa piaraan di rumah kos.Bertahun-tahun lamanya saya hanya jadi pemerhati kucing, yang rajin menyapa setiap kucing yang saya temui di jalan. Herannya, para kucing seperti memahami apa yang saya katakan. Baru saat menjelang tingkat akhir kuliah, saya kembali punya teman berbulu. Si Thoyyib yang sudah pernah saya ceritakan di sini sebelumnya.
 Kini, saya punya empat ekor teman berbulu! Tapi ceritanya nanti saja di bagian dua ya J

Senin, 08 Juni 2015

Cara Mengurangi Rasa Asin Pada Ikan Asin

Akhir pekan kemarin, Bapak pulang dari luar kota membawa banyak ikan asin. Semacam oleh-oleh standar yang akan dibeli seseorang yang berasal dari daerah tanpa laut saat berkunjung ke kota berpantai. Sejumlah jambal roti yang tampak menggiurkan, ikan layur panjang-panjang dan dua pak kecil berisi ikan teri. Masalahnya, mau diapakan?
Kota kecil kami adalah penghasil ikan air tawar. Pasar ikan di sini tak pernah sepi. Tapi tak pernah ada yang mengasinkan ikan air tawar. Bahkan kakak yang kini tinggal di kota berpantai, selalu membawa hasil laut dalam keadaan segar. Bukan berarti tak pernah makan ikan asin sama sekali, tapi biasanya hanya disuguhi atau dimasakkan. Mengolahnya pernah beberapa kali saat di Bogor (orang Sunda senang sekali ikan asin), tapi tak pernah pas di lidah. Asinnya terlalu berlebihan.
Bapak paham betul keadaan ini, jadi beliau menyempatkan bertanya pada penjualnya, bagaimana cara mengolah ikan asin yang benar. Tips yang beliau dapatkan adalah mencuci si ikan asin dengan air garam. Terdengar masuk akal, sesuai dengan prinsip difusi dan osmosis. Garam dalam tubuh ikan akan keluar karena di sekelilingnya ada larutan garam dengan konsentrasi rendah. Terus begitu sampai terjadi kesetimbangan konsentrasi larutan garam di dalam dan di luar tubuh ikan.
Sebelum mengolah, saya mengetes ikan asin ini dengan memberikannya pada kucing. Ternyata mereka mau makan. Syukurlah. Beberapa kali pernah mencoba memberi ikan asin, mereka tak pernah mau makan. Kali ini mereka bersedia mencicipi. Semoga itu artinya ikan asin kali ini bebas formalin.
Agar efektif, yang saya lakukan bukan mencuci tapi merendam dengan air hangat yang dilaruti garam. Rendaman ini saya biarkan selama setengah jam. Asumsi saya, dibutuhkan waktu untuk mencapai kesetimbangan konsentrasi larutan. Setelah lewat setengah jam, ikan asin saya cuci lagi dengan air tawar, baru dimasak. Jenis masakannya pun berkecap, dengan harapan rasa kecap manis akan mengurangi asinnya. Setelah matang saya cicipi, dan rasanya... ASIN!
Tak terbayang berapa banyak garam yang digunakan oleh pengrajin ikan asin ini. Bahkan setelah direndam air garam pun masih seasin ini rasanya. Melirik pada tumpukan ikan asin yang masih tersisa, saya jadi makin penasaran. Tak mungkin ikan sebanyak ini harus dibuang gara-gara terlalu asin. Para kucing bisa hipertensi kalau harus menghabiskan ikan asin sebanyak ini.
Jadi yang saya lakukan selanjutnya adalah meminta saran kepada sesepuh yang bijaksana dan terkenal serbatahu. Kami biasa memanggil beliau Mbah Google. Beberapa saran yang saya dapatkan antara lain:
ü  Merendam ikan asin dalam air garam
ü  Merendam ikan asin bersama dengan kertas buram atau kertas koran (kertasnya menutupi permukaan ikan)
ü  Merendam ikan asin dalam air hangat yang ditambahkan asam jawa.

Alih-alih memilih salah satu, saya melakukan semuanya pada perobaan ke dua ini. Pertama, saya rendam si ikan dalam larutan garam konsentrasi rendah selama setengah jam. Lalu airnya diganti dengan air tawar, ikannya dimasukkan bersama kertas buram. Proses ini memakan waktu setengah jam lagi. Terakhir, setelah kertas dibuang dan ikan dicuci, saya merendamnya dalam larutan air hangat dan asam jawa.
Ikan itu tidak saya masak aneh-aneh, hanya digoreng tanpa tambahan apa pun. Pasalnya, saya penasaran dengan rasa si ikan setelah mengalami tiga perlakuan di atas. Usai menggoreng, saya pun tak sabar untuk mencicipi. Rasanya.... asin.
Kali ini kata asin ditulis dengan huruf kecil, tak separah percobaan pertama. Tapi tetap asin. Saya berharap rasa yang lebih netral dari ini. Mungkin memang ekspektasi saya yang berlebihan. Namanya juga ikan asin, rasanya ya asin. Saya dengan mudah menoleransi rasa asinan sayur dan telur asin, tapi si ikan asin ini benar-benar kasus yang berbeda.

Masih banyak ikan asin yang tersisa, dan masih tersisa pula rasa penasaran saya. Sepertinya akan ada percobaan-percobaan selanjutnya. Ada yang bersedia berbagi tips?

Minggu, 07 Juni 2015

Proyek Pertama


Setelah satu setengah tahun menggeluti usaha bimbingan belajar, saya dan beberapa teman tiba-tiba terpikir untuk membuat sebuah event organizer (EO). Mengapa harus EO? Awalnya karena kami gerah dengan kesunyian kota ini dari kegiatan. Tentu saja tak benar-benar sunyi, pentas artis ibukota sering meramaikan GOR kota ini dengan perusahaan rokok sebagai sponsor utamanya. Saat demam batu akik melanda, berbagai pameran dan festival akik juga turut menyemarakkan agenda kota.
Namun yang kami rindukan adalah kegiatan-kegiatan serupa di kampus dulu. Seminar, training, workshop, semacam itulah. Bidangnya bisa apa saja, mulai memasak hingga fotografi juga bisa. Entah karena asing dengan acara-acara semacam itu, atau karena memang kultur masyarakat kota ini yang tak suka belajar, bahkan ketika ada bookfair sepekan lamanya pun sepi pengunjung. Itu adalah bookfair tersunyi yang pernah saya kunjungi.
Di satu sisi kami cukup nekat membuat EO di bidang ini, di tengah kultur masyarakat yang semacam ini. Akan jauh lebih menguntungkan jika kami memutuskan untuk membuka café atau toko batu akik. Tapi empat orang mantan aktivis kampus yang sekarang sudah emak-emak ini benar-benar keras kepala. Pasar itu bisa diciptakan, yang terpenting mencoba menumbuhkan budaya belajar di tengah masyarakat. Belajar apa saja, sesuai minat masing-masing orang. Sedapat mungkin kami akan ciptakan berbagai pelatihan. Masalah dapur, insya Allah sementara ini bimbingan belajar masih bisa diandalkan meski tak bisa dipakai bermewah-mewahan.
Salah seorang dari kami punya proyek pribadi untuk membuka bisnis online. Karena merasa tak berpengalaman, dia berencana untuk mencari workshop tentang bisnis online di luar kota. Saat itu muncul ide: mengapa harus mencari workshop kalau kita bisa mengadakannya? Cari pembicara yang mumpuni tapi bisa dibayar dengan harga saudara, lalu adakan pelatihan di sini. Ketok palu, inilah proyek pertama kami. Sebuah workshop tentang bisnis online.
Masalahnya, pembicara hanya punya waktu pada tanggal tertentu. Tanggal itu adalah sepekan dari saat kami membuat keputusan awal. Belum lagi syarat bahwa peserta harus berasal dari komunitas tertentu (karena bagi pembicara ini adalah proyek sosial, dengan harga jauh di bawah biasanya). Maka demikianlah. Dalam waktu sepekan kami harus mencari peserta sebanyak-banyaknya, tempat yang kalau bisa gratis, alat seperti LCD proyektor, layar dan pelantang suara.
Peserta yang akhirnya kami dapatkan adalah…. Lima orang! Sepanjang sejarah saya  jadi panitia apa pun, baru pernah sebuah workshop hanya mendapat lima peserta. Untungnya ini berbentuk workshop, peserta justru merasa mendapat bimbingan eksklusif dari pembicara, praktik langsung dengan komputer masing-masing seharian. Untuk meramaikan, panitia pun ikut jadi peserta. Tak terbayang kalau acara berbentuk seminar atau talk show, hanya mendapat lima peserta. Pasti cukup untuk membuat panitia mencari gua sebagai tempat persembunyian. Malu. Hehe..
Anggarannya bagaimana? Alhamdulillah, setelah membayar fee pembicara, makan siang peserta dan peminjaman tempat (ini numpang sebuah sekolah, jadi uang sewa seikhlasnya), kami masih mendapat untung. Dua puluh ribu rupiah! Karena panitia hanya berempat, masing-masing orang mendapat lima ribu rupiah. Saya menertawakan diri sendiri hingga sakit perut mengingat ini J
Banyak yang harus dievaluasi di sana-sini, terutama waktu yang hanya sepekan dan syarat peserta yang berasal dari komunitas tertentu. Jika kami punya waktu lebih longgar dan peserta yang lebih umum, dapat dipastikan kami bisa memperoleh lebih banyak audiens. Sebagai sebuah proyek pertama, ini memacu kami untuk lebih kreatif sekaligus seksama dalam menyusun acara ke depannya.
Sebagai pimpinan (cieee), saya punya tugas untuk menjaga optimisme teman-teman meski hati saya sendiri ciut. Saya sampaikan bahwa setidaknya hari itu kami mendapat makan siang gratis, ilmu tentang bisnis online, lima orang kenalan baru, dan pengalaman mengadakan acara di kota kecil yang sepi ini. Berjalan seribu langkah pun harus diawali dengan langkah pertama, kan?
Tentang uang lima ribu rupiah untuk masing-masing orang, tak perlu dibelanjakan. Baiknya dilaminating dan dipajang di meja kerja masing-masing, sebagai pengingat pada proyek pertama EO kami. Kelak kalau telah jadi perusahaan besar, uang lima ribu itu bisa jadi bahan motivasi untuk para karyawan. Oh jangan salah, dalam hal ini saya tak ciut. Insya Allah perusahaan kami akan berkembang, mewarnai kota mungil kami tercinta. Doakan kami, Pemirsa!

Skripsi Oh Skripsi

Beberapa waktu yang lalu, Menteri Ristek dan Dikti sempat mengeluarkan pernyataan menghebohkan. Untuk lulus program sarjana, seseorang tak perlu menulis skripsi. Alasannya, banyak universitas abal-abal yang mengeluarkan ijazah palsu dan marak terjadi kasus plagiarisme di perguruan tinggi. Gelar sarjana yang tersemat pada nama seseorang tidak otomatis menggambarkan kapasitas orang itu. Tentu, kasus-kasus itu benar-benar ada. Tapi menghapus skripsi sebagai jawaban untuk maraknya plagiarisme sepertinya kurang nyambung, menurut saya. Apa daya saya bukan pengambil kebijakan, jadi cukuplah beropini di blog saja.
Skripsi adalah episode paling menguras hati dan energi dari keseluruhan masa kuliah. Mulai dari penelitian hingga penyusunannya. Saat saya menyusun skripsi dulu, komputer bukanlah benda murah. Saya mengetik hingga larut di tempat rental, berbekal setumpuk disket dan CD. Pun masih dilengkapi lobby pada pengelola warnet, agar file saya diloloskan dari pembersihan berkala hingga benar-benar dinyatakan bebas revisi.
Kemampuan meneliti, mengelaborasi, hingga menceritakan hasilnya dalam sebuah karya ilmiah yang terikat banyak aturan penulisan, diuji betul dalam proses ini. Belum lagi saat harus memaparkannya dalam sebuah forum ilmiah bernama seminar skripsi serta mempertahankannya dalam sidang tertutup di hadapan para penguji. Kalau harus digantikan dengan tugas akhir semacam ujian tertulis yang menanyakan seluruh mata kuliah dari awal, rasanya tetap tak sepadan.
Saya tak hendak bicara tentang bidang lain atau kampus lain, tapi di kampus saya skripsi ini bukan sesuatu yang bisa dibuat main-main. Berbulan-bulan penelitian di laboratorium, mencari referensi, menghadapi pembimbing, sama sekali tak mudah. Plagiarisme boleh dikatakan mustahil, mengingat hanya beberapa universitas yang mengampu jurusan yang sama, dan dari yang sedikit itu kampus saya adalah yang terbaik. Mencontek hasil penelitian kampus sendiri jelas tak mungkin karena para dosen tahu persis perkembangan keilmuan di bidang ini. Mencontek dari universitas lain lebih mustahil, karena bobotnya akan jauh lebih ringan dan tak diterima sejak proposal.
Bagaimana dengan jurusan yang hampir ada di seluruh universitas, seperti Ekonomi dan Hukum? Bukankah mudah kalau copy paste dengan sedikit modifikasi, dari universitas yang kurang lebih setara. Seharusnya tidak. Dengan adanya kewajiban untuk memuat hasil penelitian di jurnal ilmiah yang diakui, seharusnya akan mudah mendeteksi plagiarisme. Tentunya hal ini harus didukung dengan teknologi yang mumpuni dari Dikti sendiri.
Akreditasi universitas dan sertifikasi dosen juga mestinya memasukkan kriteria bebas plagiarisme. Mekanismenya bagaimana, saya yakin orang-orang super pintar di Kemristek & Dikti bisa merumuskan ini. Tapi jelas, bukan dengan menghapus skripsi.
Setelah lulus, saya bekerja di luar bidang kuliah. Tak pernah lagi saya masuk lab dan berkutat dengan bahan-bahan yang menjadi kawan saya waktu kuliah dulu. Saya tak sendirian, banyak sekali sarjana di negeri ini yang bekerja di luar bidangnya, baik karena terdampar atau dengan pilihan sadar.
Namun bukan berarti ilmu saya tak berguna, dan skripsi saya sia-sia. Kapasitas saya jelas jauh berbeda dibanding saat baru lulus SMA dulu. Mungkin saya memang tak lagi mengerti perkembangan kekinian tentang ilmu kimia kayu. Tapi alur pikir saya pernah ditata paksa dengan penelitian dan penyusunan skripsi.
Ujian tertulis hanya menilai sisi kognitif saja, tapi skripsi menyediakan sebuah proses yang menguji berbagai hal. Bagaimana berlogika, mengidentifikasi dan merunutkan masalah, mengelaborasi, mencari sumber yang dapat dipercaya, mengambil kesimpulan, dan menghadapi tantangan. Seharusnya hal-hal tadi menjadi kapabilitas dasar sarjana dalam bidang apa pun yang pernah menulis skripsi.
Sebagai orang yang sudah lulus kuliah sepuluh tahun lalu, alih-alih sirik pada adik-adik yang boleh lulus tanpa skripsi (seandainya kebijakan ini benar-benar diterapkan), saya justru kasihan. Puncak perjuangan kuliah ya skripsi ini, yang (selain organisasi) seharusnya menjadi pembeda pola pikir antara sarjana dengan yang  bukan.
Semoga kalaupun skripsi dihapuskan, Kemristek & Dikti merumuskan formula lain yang lebih kurang memberi tempaan proses yang sama kepada para calon sarjana. Ujian tertulis yang hanya menguji satu aspek kecerdasan, jelas sebuah kemunduran. Mari kita nantikan formula anti plagiasi dalam kebijakan yang tak mengerdilkan potensi.

Pulang


Dua tahun sudah saya pulang ke kampung halaman setelah 16 tahun merantau. Tentu tak benar-benar menghilang selama itu, saya selalu mudik setidaknya sekali setahun. Entah perkembangan kota ini yang sangat pesat, atau saya yang memang terlalu lama pergi, kepulangan menjadikan saya orang asing di tanah kelahiran sendiri. Menjadi anak kos sejak lulus SMP hingga usia berkepala tiga, membuat saya tergagap. Berasa tak kenal siapa pun di sini.
Sejak kuliah hingga jauh setelahnya, saya tinggal di Bogor. Kota itu sudah seperti kota saya sendiri. Angkot warna hijau dari nomor 01 hingga 20 pernah saya naiki, menjelajah kota yang sebenarnya tak terlalu luas itu. Berbeda dengan Kabupaten Bogor, mungkin baru sepersepuluh luasnya yang pernah saya kunjungi dengan angkot birunya.
Bogor adalah sebuah kota yang mudah dicintai. Orang bilang lalu lintasnya yang semrawut membuat amarah selalu memuncak. Bagi saya, berada di dalam angkot di tengah kemacetan merupakan kesempatan untuk mengamati banyak orang, merenung, tak jarang mendapat ide cemerlang. Lagipula, angkot di Bogor menjangkau hampir semua tempat, selama 24 jam. Para pembenci hujan selalu mengeluhkan cuaca yang nyaris tak mengenal musim. Seorang pencinta hujan seperti saya merasa nyaman meski langit menumpahkan air diselingi suara petir.  
Kota kecil saya membuat mati gaya. Angkot hanya melalui jalan-jalan utama, itu pun jangan harap dapat ditemukan lewat jam lima sore. Sebagai orang yang tak bisa mengendarai motor maupun mobil, ini artinya saya harus menemukan orang untuk mengantar saya ke mana pun di kota ini. Pada bulan ke tiga di sini, saya jatuh dari motor (sedang membonceng, tentu) dan mengalami patah tulang. Makin malas lah belajar mengendarainya.
Di kota ini juga rasanya segalanya tak ada. Jangankan mall yang jadi tempat hang out andalan saat di Bogor dulu, sekedar salon muslimah yang nyaman dan steak yang enak juga tidak ada di sini. Belanja buku yang biasanya menjadi aktivitas favorit, kini harus dilakukan secara online.
Jadi, apa bagusnya kota ini? Masa sih sebuah tempat tak ada bagusnya apa-apa? Ternyata, meski tak punya mall tapi pasar tradisional di sini mendapat predikat terbaik nasional. Rapi, tidak becek, cukup lengkap, dan berita bagusnya, dapat dicapai dengan berjalan kaki dari rumah saya! Ketidakhadiran mall di sini bukan karena tak ada investor yang sudi menanam modalnya, tapi akibat kebijakan pemerintah daerah yang menjaga kelangsungan hidup para pedagang kecil. Menarik juga.
Toko buku sekelas Gramedia tidak ada di sini. Sebagai gantinya, ada sebuah Perpustakaan Daerah dengan koleksi yang cukup lengkap. Peminjamannya gratis asalkan menjaga diri dari denda, dengan mengembalikan buku tepat waktu. Pelayanannya prima, untuk membuat kartu anggota hanya dibutuhkan waktu sepuluh menit, tanpa birokrasi berbelit, dan tanpa biaya. Fasilitas hotspot tidak hanya di Perpustakaan Daerah saja, tapi beberapa tempat umum juga mendapatkannya.
Bioskop XXI jelas tak ada. Tapi kota ini menyelenggarakan festival film tahunan. Pesertanya dari pelajar SMP hingga karyawan, berlomba membuat film pendek yang kreatif. Pemutarannya tak hanya di auditorium hotel pusat kota, tapi juga dengan layar tanjleb di desa-desa. Ajaib sekali, sebuah kota tanpa bioskop yang melahirkan banyak bibit sineas muda. Beberapa film pendek kota ini bahkan mendapat penghargaan di dalam dan luar negeri.
Banyak yang masih harus dibenahi, tapi rasanya saya mulai (kembali) mencintai kota ini. Sebagai mantan urban, saya merasa banyak sekali yang kurang atau susah didapat. Tapi kelangkaan harus dipandang sebagai peluang. Apa yang kira-kira di sini belum ada dan memungkinkan jadi bisnis menjanjikan? Ah, saya masih harus mengenal lebih dalam sudut-sudut kota ini dan menggali inspirasi.




Rabu, 03 Juni 2015

The Geography of Bliss: Mencari Letak Kebahagiaan


Masih dalam rangka menantang diri di proyek #NulisRandom2015, ternyata baru hari ke dua sudah miskin ide. Untungnya ada banyak buku di rak, yang belum sempat dibuat resensinya. Jadi tampaknya, kelanjutan proyek ini ke depan adalah berjuang mencari ide, lalu kalau sudah mentok ambil buku secara acak dari lemari dan membuat resensi. Memaksa diri membaca ulang setiap buku dan menggali lebih dalam, rasanya tak ada jeleknya untuk orang yang bermimpi jadi penulis seperti saya.
Buku yang akan saya bahas kali ini adalah The Geography of Bliss: Kisah Seorang Penggerutu yang Berkeliling Dunia Mencari Negara Paling Membahagiakan. Buku ini ditulis oleh Eric Weiner, seorang jurnalis berkebangsaan Amerika Serikat, dan diterjemahkan oleh M. Rudi Atmoko untuk Penerbit Qanita, 2014.

Ngemplak-20150127-03796
Awalnya saya mengira buku ini adalah semacam buku traveling yang akan membawa pembaca keliling dunia sebagai wisatawan, disertai deskripsi dan aneka tips tentang masing-masing tujuan wisata di berbagai negara. Ternyata buku ini bukan panduan untuk para pelancong, melainkan untuk para pencari kebahagiaan. Eric Weiner mengajak pembaca berkeliling dunia sambil mengkaji negara mana yang penduduknya paling bahagia dan mana yang paling tak berbahagia. Saat penulis lain banyak membedah makna kebahagiaan, Weiner menandai di mana letak kebahagiaan dalam peta dunia.
Ada sepuluh negara yang dikunjungi Weiner dalam penyusunan buku ini. Tentu saja keragaman budaya dan cara hidup masyarakat masing-masing negara membuat persepsi tentang kebahagiaan juga tak seragam. Namun pada dasarnya semua manusia tahu apakah dirinya bahagia atau tidak. Musababnya bisa beraneka, namun rasa bahagia dapat dikenali sebagaimana rasa lapar atau jatuh cinta.
Saya tak akan membahas masing-masing negara secara berurutan sebagaimana format buku ini. Akan saya rangkum berdasar pertanyaan yang sering terlintas di benak saya tentang kebahagiaan.
Pertama, apakah kebebasan membuat orang bahagia? Kita bisa tanyakan ini kepada orang Belanda. Di negara ini, kebebasan sangat dihormati. Ganja dan prostitusi yang di negara lain bisa membuat seseorang dijatuhi hukuman mati, di Belanda legal. Toko-toko khusus dewasa, café yang bisa dikunjungi penduduk maupun turis untuk nge-fly, berdampingan dengan para imigran asal timur tengah berbusana tertutup yang cukup banyak mengisi kota-kota besar di Belanda. Kepercayaan yang berlawanan tidak menghasilkan pertikaian atau ketegangan.
Weiner membahasnya dengan profesor ahli kebahagiaan di Belanda. Kebahagiaan jelas berbeda dengan kesenangan. Toleransi itu sangat bagus, tapi bisa dengan mudah bergeser ke ketidakpedulian, dan itu sama sekali tidak menyenangkan. Begitu banyak kelonggaran tidak secara otomatis menjadikan orang bahagia. Ini berlawanan dengan apa yang disangka oleh mereka yang merindukan kebebasan mutlak.
Pertanyaan berikutnya, apakah uang membuat orang bahagia? Untuk menjawab hal ini, kita bisa berkunjung ke Qatar. Negara yang dulunya padang pasir gersang menjelma jadi salah satu negara super kaya berkat minyak. Orang-orangnya pun para individu super kaya yang hidup dengan standar tinggi. Kita tak akan menemukan sopir, pramuniaga, asisten rumah tangga, dan pekerjaan ‘rendahan’ semacam itu dikerjakan oleh orang Qatar. Semua pekerjaan itu diisi oleh para imigran dari negara yang tak terlalu kaya. Bahkan para awak pesawat, paramedis dan dosen pun mereka impor dari negara lain. Lalu di mana orang-orang Qatar? Menikmati kekayaannya, tentu.
Seperti orang kaya baru yang memenangkan lotre, orang Qatar menikmati menjadi kaya dengan cara yang berlebihan. Tak ada gedung yang tak mewah, tak ada fasilitas yang tidak luar biasa. Tapi, menurut Weiner, tak berjiwa. Hubungan antar manusianya, mentalitas ‘majikan’ yang menganggap semua orang asing pegawai yang bisa dibayar, persaingan antar suku atau keluarga bagai api dalam sekam. Di Qatar, uang berhasil membeli kemewahan, tapi tidak kebahagiaan.
Weiner tidak memasukkan negara-negara super miskin di Afrika dalam catatan perjalanan ini. Menurutnya, akan menjadi bias mengukur kebahagiaan di tempat yang kebutuhan dasar manusia seperti makan dan air belum terpenuhi. Namun Weiner mengunjungi sebuah negara yang hampir selalu menempati urutan terbawah pada indeks kebahagiaan. Negara ini tidak terletak di Afrika atau Asia, tapi di Eropa.
 Moldova adalah negara yang penduduknya sangat murung dan menyimpan ketidakpuasan pada banyak hal. Tidak ada peperangan atau konflik berarti di Moldova. Kemiskinan memang terasa, tapi tentu masih jauh di atas Nigeria atau Bangladesh. Masalahnya, orang Moldova tidak membandingkan diri dengan Nigeria dan Bangladesh. Mereka membandingkan diri dengan Jerman dan Italia. Jadi, apakah uang membawa kebahagiaan?  Mungkin jawabannya: tergantung seberapa kaya tetanggamu.
Lalu ada apa di negara yang paling bahagia? Di kepala sebagian orang barat, tempat yang membahagiakan adalah matahari sepanjang tahun, pantai yang indah untuk bersantai. Ternyata negara yang langganan memuncaki indeks kebahagiaan adalah Islandia, tempat penuh es yang dianaktirikan oleh matahari. Makanannya pun rasanya aneh, menurut penulis. Di negara ini seorang presiden tidak akan didemo jika tingkat inflasi naik, namun akan diprotes jika angka pengangguran bertambah. Inflasi tentu tidak menyenangkan, tapi semua orang merasakan bersama. Pengangguran menciptakan kesenjangan, dan itu salah satu sumber ketidakbahagiaan.
Islandia adalah negara yang dipenuhi oleh orang-orang gagal. Musisi yang tak kunjung masuk industri rekaman, penulis yang tak terkenal, pelukis dan pematung yang biasa-biasa saja. Tapi iklim kreatif di negeri ini sangat pekat. Rasa seni dan pengembangan budaya subur di mana-mana. Hebatnya, kegagalan dianggap sesuatu yang bagus. Orang-orang Islandia sangat menghargai proses, usaha seseorang dan bukan hasil akhirnya. Weiner meyakini bahwa salah satu sumber kebahagiaan Islandia adalah langkanya rasa iri. Jika sebuah band memerlukan gitar atau pengeras suara, band lain akan segera membantu tanpa bertanya. Budaya apresiasi, bukan kompetisi, menjauhkan rasa iri.
Untuk saya pribadi, negara yang paling menarik adalah Bhutan. Sebuah negara yang jarang terdengar, letaknya tersembunyi di balik pegunungan tinggi Himalaya. Di Bhutan, kebahagiaan adalah kebijakan negara. Saat negara lain menggunakan PDB sebagai indeks keberhasilannya sebagai negara, Bhutan menetapkan Kebahagiaan Nasional Bruto (KNB). Pemerintah dipandang gagal kalau warganya tidak bahagia.
Untungnya, rakyat Bhutan adalah orang-orang bahagia. Bukan karena sangat kaya atau punya kebebasan individu yang penuh. Kebahagiaan menurut definisi Bhutan adalah mengetahui berbagai keterbatasan Anda, mengetahui seberapa banyak adalah cukup. Kebahagiaan tidak bersifat individu, tapi komunal. Orang Bhutan menghargai hubungan dan harmoni.  Bagi rakyat Bhutan, kebahagiaan adalah usaha bersama.
Mungkin karena saya orang Asia, maka ide tentang bahagia sebagai sebuah harmoni lebih menarik bagi saya ketimbang konsep kebahagiaan individu. Kebahagiaan lebih bersifat spiritual daripada kebendaan atau kesenangan hedonisme.
Secara keseluruhan, Weiner menyajikan kisahnya dengan menarik. Jika buku traveling lain membuat orang ingin berkunjung ke tempat yang ditulis, buku ini memberikan efek yang berbeda. Bliss justru membuat pembaca merasa tertantang untuk menempuh perjalanan ke dalam diri sendiri, dan bertanya: apakah kau bahagia?
Bagi saya, jawabannya adalah: Ya, saya bahagia!