Selasa, 09 Juni 2015

Kisah Kucing (Part I)

Konon katanya, orang bergolongan darah B cenderung untuk menjadi cat person. Secara umum, memang hampir semua teman B yang saya kenal adalah penyayang binatang. Dengan dua perkecualian. Saya punya dua orang teman  bergolongan darah B yang justru phobia pada kucing. Mungkin tepatnya begini: orang yang bergolongan darah B cenderung memiliki hubungan emosional dengan kucing. Bisa positif atau negatif. Tapi saya bukan hendak membahas golongan darah di sini. Saya hanya akan bercerita tentang hubungan emosional saya sendiri dengan kucing.
Sejak saya masih sangat kecil, seingat saya rumah ini sering dianggap tempat bersalin kucing. Mungkin karena memang rumah ini berantakan, ada sudut-sudut yang memungkinkan dipakai induk kucing untuk beranak. Mungkin juga karena kami para penghuni rumah ini relatif baik pada kucing. Tidak memanjakan, tapi juga bukan orang-orang kejam yang suka mengusir kucing dengan menyiram air panas (atau bahkan minyak panas!). Tak pelit berbagi makan, meski hanya tulang ikan.
Jadi hampir setiap musim kucing beranak, ada bayi kucing di rumah ini. Hanya numpang beranak, lalu sang induk memindahkan bayi-bayi kucing entah ke mana. Mitos yang beredar di kampung kami, bayi kucing akan dibawa pindah tujuh kali oleh induknya. Ini semua dilakukan demi keamanan bayi-bayi kucing dari ancaman ayah mereka. Saya sendiri tak pernah melihat kejadian menyeramkan kucing pejantan memangsa bayi-bayinya, sih. Tapi bahwa induk kucing rajin sekali memindahkan bayi, saya menjadi saksi.
Kucing yang sampai besar ada di rumah adalah dua bersaudara si Ireng dan si Merah. Sebenarnya si Merah ini berwarna orange, tapi entah mengapa bagi orang kampung saya warna kucing seperti itu disebut merah. Mereka berdua menjadi teman-teman saya sejak masih bayi, sedangkan saya kelas 3 SD. Dengan merekalah saya pertama kali mengajak kucing mengobrol. Biasanya kata-kata saya pada kucing mana pun hanya instruksi atau memberi makan.
Si Ireng ini hampir seluruh tubuhnya berwarna hitam, kecuali bagian perut dan keempat kakinya (sehingga terlihat seperti mengenakan kaos kaki). Dia kucing yang garang, terlihat maskulin sejak masih bocah. Ahli dalam berburu tikus, bahkan dari usianya sangat muda. Saudaranya, si Merah, relatif lebih pendiam. Waktu masih bayi, kami mengira dia adalah kucing betina. Begitu memasuki usia beberapa bulan, barulah tampak kejantanannya.
Saat kelas empat SD, saya pernah menangis sesorean karena si Ireng tidak dapat ditemukan di mana pun. Bapak dan ibu ikut panik, karena saya bukan tipe anak yang gampang menangis. Mereka dibantu kakak, sibuk mencari ke mana-mana. Saya tetap menangis di rumah, ditemani si Merah yang bingung melihat kelakuan saya. Rupanya si Ireng tak pergi jauh, hanya ikut nonton tivi di rumah tetangga sebelah. Saya memeluknya sambil menangis saat bapak membawanya pulang.
Bapak memberi petuah panjang bahwa memang begitulah kucing, saya tak boleh melarangnya bermain. Selama ini mereka ada di rumah karena memang masih kecil. Selanjutnya mereka akan mulai bertualang, berburu, tidur di atap melindungi rumah kami dari tikus. Kucing itu bukan boneka yang bisa dimiliki sepenuhnya. Mereka punya kehidupan sendiri. Tak terlalu mengerti, saya mengusap air mata sambil tetap memeluk si Ireng.
Petuah Bapak benar juga, setelah itu kedua anak kucing manis rumahan itu mulai rajin pergi. Hanya pulang kalau lapar saja. Waktu itu rasanya kesal sekali, seperti diabaikan oleh sahabat. Tapi lama kelamaan saya juga sibuk dengan teman-teman manusia, tugas sekolah dan berbagai lomba yang mulai saya ikuti. Sesekali masih ngobrol dengan mereka, terutama si Ireng, kalau kami sedang sama-sama di rumah.
Masa kecil saya cukup ‘rusak’ gara-gara kelakuan teman-teman berbulu ini. Di kelas lima, untuk pertamakalinya saya mengenal konsep hubungan sesama jenis. Si Ireng dan si Merah yang sama-sama pejantan melakukan adegan mesum! Sudah incest, gay pula. Awalnya saya syok, dan memarahi mereka berdua. Tapi mereka tak pernah peduli, tetap saja mempertontonkan adegan mesum itu pada anak di bawah umur seperti saya. Hih!
Lewat masa SD, saya benar-benar sibuk dengan dunia saya sendiri. Si Ireng dan si Merah pun mengurusi hidup mereka sendiri. Kami semakin jarang bertemu. Tapi mereka memberi pengalaman pertama tentang pertemanan saya dengan kucing. Musim-musim berikutnya, rumah ini masih dipakai para induk untuk beranak. Tak ada lagi yang menetap sampai dewasa. Hanya numpang lahir lalu pindah lagi, seperti sebelum kedatangan dua teman saya.

Saat masuk SMA, saya meninggalkan rumah dan kos di luar kota. Tentu, tak boleh membawa piaraan di rumah kos.Bertahun-tahun lamanya saya hanya jadi pemerhati kucing, yang rajin menyapa setiap kucing yang saya temui di jalan. Herannya, para kucing seperti memahami apa yang saya katakan. Baru saat menjelang tingkat akhir kuliah, saya kembali punya teman berbulu. Si Thoyyib yang sudah pernah saya ceritakan di sini sebelumnya.
 Kini, saya punya empat ekor teman berbulu! Tapi ceritanya nanti saja di bagian dua ya J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar