Minggu, 07 Juni 2015

Pulang


Dua tahun sudah saya pulang ke kampung halaman setelah 16 tahun merantau. Tentu tak benar-benar menghilang selama itu, saya selalu mudik setidaknya sekali setahun. Entah perkembangan kota ini yang sangat pesat, atau saya yang memang terlalu lama pergi, kepulangan menjadikan saya orang asing di tanah kelahiran sendiri. Menjadi anak kos sejak lulus SMP hingga usia berkepala tiga, membuat saya tergagap. Berasa tak kenal siapa pun di sini.
Sejak kuliah hingga jauh setelahnya, saya tinggal di Bogor. Kota itu sudah seperti kota saya sendiri. Angkot warna hijau dari nomor 01 hingga 20 pernah saya naiki, menjelajah kota yang sebenarnya tak terlalu luas itu. Berbeda dengan Kabupaten Bogor, mungkin baru sepersepuluh luasnya yang pernah saya kunjungi dengan angkot birunya.
Bogor adalah sebuah kota yang mudah dicintai. Orang bilang lalu lintasnya yang semrawut membuat amarah selalu memuncak. Bagi saya, berada di dalam angkot di tengah kemacetan merupakan kesempatan untuk mengamati banyak orang, merenung, tak jarang mendapat ide cemerlang. Lagipula, angkot di Bogor menjangkau hampir semua tempat, selama 24 jam. Para pembenci hujan selalu mengeluhkan cuaca yang nyaris tak mengenal musim. Seorang pencinta hujan seperti saya merasa nyaman meski langit menumpahkan air diselingi suara petir.  
Kota kecil saya membuat mati gaya. Angkot hanya melalui jalan-jalan utama, itu pun jangan harap dapat ditemukan lewat jam lima sore. Sebagai orang yang tak bisa mengendarai motor maupun mobil, ini artinya saya harus menemukan orang untuk mengantar saya ke mana pun di kota ini. Pada bulan ke tiga di sini, saya jatuh dari motor (sedang membonceng, tentu) dan mengalami patah tulang. Makin malas lah belajar mengendarainya.
Di kota ini juga rasanya segalanya tak ada. Jangankan mall yang jadi tempat hang out andalan saat di Bogor dulu, sekedar salon muslimah yang nyaman dan steak yang enak juga tidak ada di sini. Belanja buku yang biasanya menjadi aktivitas favorit, kini harus dilakukan secara online.
Jadi, apa bagusnya kota ini? Masa sih sebuah tempat tak ada bagusnya apa-apa? Ternyata, meski tak punya mall tapi pasar tradisional di sini mendapat predikat terbaik nasional. Rapi, tidak becek, cukup lengkap, dan berita bagusnya, dapat dicapai dengan berjalan kaki dari rumah saya! Ketidakhadiran mall di sini bukan karena tak ada investor yang sudi menanam modalnya, tapi akibat kebijakan pemerintah daerah yang menjaga kelangsungan hidup para pedagang kecil. Menarik juga.
Toko buku sekelas Gramedia tidak ada di sini. Sebagai gantinya, ada sebuah Perpustakaan Daerah dengan koleksi yang cukup lengkap. Peminjamannya gratis asalkan menjaga diri dari denda, dengan mengembalikan buku tepat waktu. Pelayanannya prima, untuk membuat kartu anggota hanya dibutuhkan waktu sepuluh menit, tanpa birokrasi berbelit, dan tanpa biaya. Fasilitas hotspot tidak hanya di Perpustakaan Daerah saja, tapi beberapa tempat umum juga mendapatkannya.
Bioskop XXI jelas tak ada. Tapi kota ini menyelenggarakan festival film tahunan. Pesertanya dari pelajar SMP hingga karyawan, berlomba membuat film pendek yang kreatif. Pemutarannya tak hanya di auditorium hotel pusat kota, tapi juga dengan layar tanjleb di desa-desa. Ajaib sekali, sebuah kota tanpa bioskop yang melahirkan banyak bibit sineas muda. Beberapa film pendek kota ini bahkan mendapat penghargaan di dalam dan luar negeri.
Banyak yang masih harus dibenahi, tapi rasanya saya mulai (kembali) mencintai kota ini. Sebagai mantan urban, saya merasa banyak sekali yang kurang atau susah didapat. Tapi kelangkaan harus dipandang sebagai peluang. Apa yang kira-kira di sini belum ada dan memungkinkan jadi bisnis menjanjikan? Ah, saya masih harus mengenal lebih dalam sudut-sudut kota ini dan menggali inspirasi.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar