Dua tahun sudah saya pulang ke
kampung halaman setelah 16 tahun merantau. Tentu tak benar-benar menghilang
selama itu, saya selalu mudik setidaknya sekali setahun. Entah perkembangan
kota ini yang sangat pesat, atau saya yang memang terlalu lama pergi,
kepulangan menjadikan saya orang asing di tanah kelahiran sendiri. Menjadi anak
kos sejak lulus SMP hingga usia berkepala tiga, membuat saya tergagap. Berasa
tak kenal siapa pun di sini.
Sejak kuliah hingga jauh
setelahnya, saya tinggal di Bogor. Kota itu sudah seperti kota saya sendiri.
Angkot warna hijau dari nomor 01 hingga 20 pernah saya naiki, menjelajah kota
yang sebenarnya tak terlalu luas itu. Berbeda dengan Kabupaten Bogor, mungkin baru
sepersepuluh luasnya yang pernah saya kunjungi dengan angkot birunya.
Bogor adalah sebuah kota yang
mudah dicintai. Orang bilang lalu lintasnya yang semrawut membuat amarah selalu
memuncak. Bagi saya, berada di dalam angkot di tengah kemacetan merupakan
kesempatan untuk mengamati banyak orang, merenung, tak jarang mendapat ide
cemerlang. Lagipula, angkot di Bogor menjangkau hampir semua tempat, selama 24
jam. Para pembenci hujan selalu mengeluhkan cuaca yang nyaris tak mengenal
musim. Seorang pencinta hujan seperti saya merasa nyaman meski langit
menumpahkan air diselingi suara petir.
Kota kecil saya membuat mati
gaya. Angkot hanya melalui jalan-jalan utama, itu pun jangan harap dapat
ditemukan lewat jam lima sore. Sebagai orang yang tak bisa mengendarai motor
maupun mobil, ini artinya saya harus menemukan orang untuk mengantar saya ke
mana pun di kota ini. Pada bulan ke tiga di sini, saya jatuh dari motor (sedang
membonceng, tentu) dan mengalami patah tulang. Makin malas lah belajar
mengendarainya.
Di kota ini juga rasanya
segalanya tak ada. Jangankan mall yang jadi tempat hang out andalan saat di Bogor dulu, sekedar salon muslimah yang
nyaman dan steak yang enak juga tidak ada di sini. Belanja buku yang biasanya
menjadi aktivitas favorit, kini harus dilakukan secara online.
Jadi, apa bagusnya kota ini?
Masa sih sebuah tempat tak ada bagusnya apa-apa? Ternyata, meski tak punya mall
tapi pasar tradisional di sini mendapat predikat terbaik nasional. Rapi, tidak
becek, cukup lengkap, dan berita bagusnya, dapat dicapai dengan berjalan kaki
dari rumah saya! Ketidakhadiran mall di sini bukan karena tak ada investor yang
sudi menanam modalnya, tapi akibat kebijakan pemerintah daerah yang menjaga
kelangsungan hidup para pedagang kecil. Menarik juga.
Toko buku sekelas Gramedia
tidak ada di sini. Sebagai gantinya, ada sebuah Perpustakaan Daerah dengan
koleksi yang cukup lengkap. Peminjamannya gratis asalkan menjaga diri dari
denda, dengan mengembalikan buku tepat waktu. Pelayanannya prima, untuk membuat
kartu anggota hanya dibutuhkan waktu sepuluh menit, tanpa birokrasi berbelit,
dan tanpa biaya. Fasilitas hotspot tidak hanya di Perpustakaan Daerah saja,
tapi beberapa tempat umum juga mendapatkannya.
Bioskop XXI jelas tak ada. Tapi
kota ini menyelenggarakan festival film tahunan. Pesertanya dari pelajar SMP
hingga karyawan, berlomba membuat film pendek yang kreatif. Pemutarannya tak
hanya di auditorium hotel pusat kota, tapi juga dengan layar tanjleb di desa-desa. Ajaib sekali, sebuah kota tanpa bioskop
yang melahirkan banyak bibit sineas muda. Beberapa film pendek kota ini bahkan
mendapat penghargaan di dalam dan luar negeri.
Banyak yang masih harus
dibenahi, tapi rasanya saya mulai (kembali) mencintai kota ini. Sebagai mantan
urban, saya merasa banyak sekali yang kurang atau susah didapat. Tapi
kelangkaan harus dipandang sebagai peluang. Apa yang kira-kira di sini belum
ada dan memungkinkan jadi bisnis menjanjikan? Ah, saya masih harus mengenal
lebih dalam sudut-sudut kota ini dan menggali inspirasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar