Minggu, 07 Juni 2015

Skripsi Oh Skripsi

Beberapa waktu yang lalu, Menteri Ristek dan Dikti sempat mengeluarkan pernyataan menghebohkan. Untuk lulus program sarjana, seseorang tak perlu menulis skripsi. Alasannya, banyak universitas abal-abal yang mengeluarkan ijazah palsu dan marak terjadi kasus plagiarisme di perguruan tinggi. Gelar sarjana yang tersemat pada nama seseorang tidak otomatis menggambarkan kapasitas orang itu. Tentu, kasus-kasus itu benar-benar ada. Tapi menghapus skripsi sebagai jawaban untuk maraknya plagiarisme sepertinya kurang nyambung, menurut saya. Apa daya saya bukan pengambil kebijakan, jadi cukuplah beropini di blog saja.
Skripsi adalah episode paling menguras hati dan energi dari keseluruhan masa kuliah. Mulai dari penelitian hingga penyusunannya. Saat saya menyusun skripsi dulu, komputer bukanlah benda murah. Saya mengetik hingga larut di tempat rental, berbekal setumpuk disket dan CD. Pun masih dilengkapi lobby pada pengelola warnet, agar file saya diloloskan dari pembersihan berkala hingga benar-benar dinyatakan bebas revisi.
Kemampuan meneliti, mengelaborasi, hingga menceritakan hasilnya dalam sebuah karya ilmiah yang terikat banyak aturan penulisan, diuji betul dalam proses ini. Belum lagi saat harus memaparkannya dalam sebuah forum ilmiah bernama seminar skripsi serta mempertahankannya dalam sidang tertutup di hadapan para penguji. Kalau harus digantikan dengan tugas akhir semacam ujian tertulis yang menanyakan seluruh mata kuliah dari awal, rasanya tetap tak sepadan.
Saya tak hendak bicara tentang bidang lain atau kampus lain, tapi di kampus saya skripsi ini bukan sesuatu yang bisa dibuat main-main. Berbulan-bulan penelitian di laboratorium, mencari referensi, menghadapi pembimbing, sama sekali tak mudah. Plagiarisme boleh dikatakan mustahil, mengingat hanya beberapa universitas yang mengampu jurusan yang sama, dan dari yang sedikit itu kampus saya adalah yang terbaik. Mencontek hasil penelitian kampus sendiri jelas tak mungkin karena para dosen tahu persis perkembangan keilmuan di bidang ini. Mencontek dari universitas lain lebih mustahil, karena bobotnya akan jauh lebih ringan dan tak diterima sejak proposal.
Bagaimana dengan jurusan yang hampir ada di seluruh universitas, seperti Ekonomi dan Hukum? Bukankah mudah kalau copy paste dengan sedikit modifikasi, dari universitas yang kurang lebih setara. Seharusnya tidak. Dengan adanya kewajiban untuk memuat hasil penelitian di jurnal ilmiah yang diakui, seharusnya akan mudah mendeteksi plagiarisme. Tentunya hal ini harus didukung dengan teknologi yang mumpuni dari Dikti sendiri.
Akreditasi universitas dan sertifikasi dosen juga mestinya memasukkan kriteria bebas plagiarisme. Mekanismenya bagaimana, saya yakin orang-orang super pintar di Kemristek & Dikti bisa merumuskan ini. Tapi jelas, bukan dengan menghapus skripsi.
Setelah lulus, saya bekerja di luar bidang kuliah. Tak pernah lagi saya masuk lab dan berkutat dengan bahan-bahan yang menjadi kawan saya waktu kuliah dulu. Saya tak sendirian, banyak sekali sarjana di negeri ini yang bekerja di luar bidangnya, baik karena terdampar atau dengan pilihan sadar.
Namun bukan berarti ilmu saya tak berguna, dan skripsi saya sia-sia. Kapasitas saya jelas jauh berbeda dibanding saat baru lulus SMA dulu. Mungkin saya memang tak lagi mengerti perkembangan kekinian tentang ilmu kimia kayu. Tapi alur pikir saya pernah ditata paksa dengan penelitian dan penyusunan skripsi.
Ujian tertulis hanya menilai sisi kognitif saja, tapi skripsi menyediakan sebuah proses yang menguji berbagai hal. Bagaimana berlogika, mengidentifikasi dan merunutkan masalah, mengelaborasi, mencari sumber yang dapat dipercaya, mengambil kesimpulan, dan menghadapi tantangan. Seharusnya hal-hal tadi menjadi kapabilitas dasar sarjana dalam bidang apa pun yang pernah menulis skripsi.
Sebagai orang yang sudah lulus kuliah sepuluh tahun lalu, alih-alih sirik pada adik-adik yang boleh lulus tanpa skripsi (seandainya kebijakan ini benar-benar diterapkan), saya justru kasihan. Puncak perjuangan kuliah ya skripsi ini, yang (selain organisasi) seharusnya menjadi pembeda pola pikir antara sarjana dengan yang  bukan.
Semoga kalaupun skripsi dihapuskan, Kemristek & Dikti merumuskan formula lain yang lebih kurang memberi tempaan proses yang sama kepada para calon sarjana. Ujian tertulis yang hanya menguji satu aspek kecerdasan, jelas sebuah kemunduran. Mari kita nantikan formula anti plagiasi dalam kebijakan yang tak mengerdilkan potensi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar