Beberapa waktu yang lalu,
Menteri Ristek dan Dikti sempat mengeluarkan pernyataan menghebohkan. Untuk
lulus program sarjana, seseorang tak perlu menulis skripsi. Alasannya, banyak
universitas abal-abal yang mengeluarkan ijazah palsu dan marak terjadi kasus
plagiarisme di perguruan tinggi. Gelar sarjana yang tersemat pada nama
seseorang tidak otomatis menggambarkan kapasitas orang itu. Tentu, kasus-kasus
itu benar-benar ada. Tapi menghapus skripsi sebagai jawaban untuk maraknya
plagiarisme sepertinya kurang nyambung, menurut saya. Apa daya saya bukan
pengambil kebijakan, jadi cukuplah beropini di blog saja.
Skripsi adalah episode paling
menguras hati dan energi dari keseluruhan masa kuliah. Mulai dari penelitian
hingga penyusunannya. Saat saya menyusun skripsi dulu, komputer bukanlah benda
murah. Saya mengetik hingga larut di tempat rental, berbekal setumpuk disket
dan CD. Pun masih dilengkapi lobby
pada pengelola warnet, agar file saya
diloloskan dari pembersihan berkala hingga benar-benar dinyatakan bebas revisi.
Kemampuan meneliti,
mengelaborasi, hingga menceritakan hasilnya dalam sebuah karya ilmiah yang
terikat banyak aturan penulisan, diuji betul dalam proses ini. Belum lagi saat
harus memaparkannya dalam sebuah forum ilmiah bernama seminar skripsi serta
mempertahankannya dalam sidang tertutup di hadapan para penguji. Kalau harus
digantikan dengan tugas akhir semacam ujian tertulis yang menanyakan seluruh
mata kuliah dari awal, rasanya tetap tak sepadan.
Saya tak hendak bicara tentang
bidang lain atau kampus lain, tapi di kampus saya skripsi ini bukan sesuatu
yang bisa dibuat main-main. Berbulan-bulan penelitian di laboratorium, mencari
referensi, menghadapi pembimbing, sama sekali tak mudah. Plagiarisme boleh
dikatakan mustahil, mengingat hanya beberapa universitas yang mengampu jurusan
yang sama, dan dari yang sedikit itu kampus saya adalah yang terbaik. Mencontek
hasil penelitian kampus sendiri jelas tak mungkin karena para dosen tahu persis
perkembangan keilmuan di bidang ini. Mencontek dari universitas lain lebih
mustahil, karena bobotnya akan jauh lebih ringan dan tak diterima sejak
proposal.
Bagaimana dengan jurusan yang
hampir ada di seluruh universitas, seperti Ekonomi dan Hukum? Bukankah mudah
kalau copy paste dengan sedikit
modifikasi, dari universitas yang kurang lebih setara. Seharusnya tidak. Dengan
adanya kewajiban untuk memuat hasil penelitian di jurnal ilmiah yang diakui,
seharusnya akan mudah mendeteksi plagiarisme. Tentunya hal ini harus didukung
dengan teknologi yang mumpuni dari Dikti sendiri.
Akreditasi universitas dan
sertifikasi dosen juga mestinya memasukkan kriteria bebas plagiarisme.
Mekanismenya bagaimana, saya yakin orang-orang super pintar di Kemristek &
Dikti bisa merumuskan ini. Tapi jelas, bukan dengan menghapus skripsi.
Setelah lulus, saya bekerja di
luar bidang kuliah. Tak pernah lagi saya masuk lab dan berkutat dengan
bahan-bahan yang menjadi kawan saya waktu kuliah dulu. Saya tak sendirian,
banyak sekali sarjana di negeri ini yang bekerja di luar bidangnya, baik karena
terdampar atau dengan pilihan sadar.
Namun bukan berarti ilmu saya
tak berguna, dan skripsi saya sia-sia. Kapasitas saya jelas jauh berbeda
dibanding saat baru lulus SMA dulu. Mungkin saya memang tak lagi mengerti
perkembangan kekinian tentang ilmu kimia kayu. Tapi alur pikir saya pernah ditata
paksa dengan penelitian dan penyusunan skripsi.
Ujian tertulis hanya menilai
sisi kognitif saja, tapi skripsi menyediakan sebuah proses yang menguji
berbagai hal. Bagaimana berlogika, mengidentifikasi dan merunutkan masalah, mengelaborasi,
mencari sumber yang dapat dipercaya, mengambil kesimpulan, dan menghadapi
tantangan. Seharusnya hal-hal tadi menjadi kapabilitas dasar sarjana dalam
bidang apa pun yang pernah menulis skripsi.
Sebagai orang yang sudah lulus
kuliah sepuluh tahun lalu, alih-alih sirik pada adik-adik yang boleh lulus
tanpa skripsi (seandainya kebijakan ini benar-benar diterapkan), saya justru
kasihan. Puncak perjuangan kuliah ya skripsi ini, yang (selain organisasi)
seharusnya menjadi pembeda pola pikir antara sarjana dengan yang bukan.
Semoga kalaupun skripsi
dihapuskan, Kemristek & Dikti merumuskan formula lain yang lebih kurang
memberi tempaan proses yang sama kepada para calon sarjana. Ujian tertulis yang
hanya menguji satu aspek kecerdasan, jelas sebuah kemunduran. Mari kita
nantikan formula anti plagiasi dalam kebijakan yang tak mengerdilkan potensi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar