Aroma kopi yang baru diseduh
menuntunku ke dapur, setelah cukup lama kucari-cari ibu di antara kerabat dan
tetangga yang memenuhi rumah ini. Langkahku terhenti saat menyaksikan ibu
menyeduh kopi dengan khidmat. Seperti ritual yang selalu dilakukannya setiap
hendak menyuguhkan kopi untuk bapak. Hanya saja kali ini tidak menggunakan
cangkir bapak. Seolah tak menyadari kedatanganku, ibu duduk menyeruput kopi
dengan mata terpejam. Nampak sangat menikmati seduhan kopi arabika Solok khas
kampung kami.
Sepanjang ingatanku, baru kali
ini aku melihat ibu menyeruput kopi. Biasanya, beliau cukup puas dengan teh
kawa, seduhan daun kopi yang telah dipanggang lama hingga berwarna hitam.
Minumnya pun bukan dengan cangkir, tapi tempurung kelapa. Sebagai putri petani
kopi yang telah bekerja di kebun sejak muda, tak membuat ibu jadi pecandu kopi.
Baginya, biji kopi terlalu berharga untuk diseduh sendiri. Setiap butir biji
kopi bisa menjadi pemberat timbangan untuk ditukar dengan beras dan uang untuk
sekolah anak-anak. Keluarga petani mestinya cukup puas dengan menyeduh teh kawa
saja.
Pengecualian hanya berlaku untuk
bapak. Setiap pagi dan sore, ibu selalu menyuguhkan kopi untuk bapak. Tak peduli
ada beras atau tidak untuk dimasak besok. Tak pula bertanya apakah kami sudah
membayar uang sekolah atau belum. Bagi ibu, bapak lebih berharga daripada kopi
sebanyak apa pun. Sebuah teka teki cinta seorang perempuan yang hingga kini tak
juga kupahami.
“Ibu, upacara pemakaman akan
segera dimulai” aku beranikan diri memecah keheningan.
“Nanti ibu menyusul, biar
kuhabiskan dulu kopi ini.” Suara ibu sangat tenang, tak ada getaran seperti
orang yang menahan tangis. Aku hanya menjawab dengan anggukan, menahan agar air
mataku sendiri tak tumpah.
*****
“Bapak dan Ibu sekalian, saya
putra almarhum, mewakili para ahli waris. Sepeninggal almarhum, kami
berkewajiban menunaikan amanat dan tanggungan-tanggungan beliau semasa hidup.
Maka apabila ada di antara Bapak dan Ibu yang hadir di sini merasa bahwa
almarhum belum menyelesaikan tanggungannya, saya persilakan untuk
membicarakannya dengan saya.”
Setiap kali menghadiri upacara pemakaman,
aku selalu mendengar pidato singkat semacam itu diucapkan oleh ahli waris
almarhum usai salat jenazah. Biasanya, tak ada seorang pun yang kemudian
menghadap si ahli waris untuk menuntut haknya. Kalaupun almarhum meninggalkan
utang, para kreditor akan menyatakan keikhlasannya. Tak banyak orang yang ingin
berurusan dengan orang yang sudah meninggal. Lebih bijak rasanya kalau
merelakan utang almarhum, anggap saja sedekah.
Aku mengira, begitu pula yang
akan terjadi setelah kuucapkan pidato yang sama menjelang pemakaman bapak. Tapi
hingga dua jam setelah pidato singkat itu, masih saja ada orang yang datang silih
berganti menagih utang. Masing-masing orang tak terlalu banyak tagihannya,
hanya sejuta-dua juta. Namun setelah kuhitung, totalnya tak kurang dari empat
puluh juta rupiah!
Sambil menghela nafas panjang,
kupandang sosok yang kini terbujur kaku berselimut kafan itu. Belum cukup dia
mencoreng aib di wajah kami dengan mati di tempat pelacuran, kini malah mewariskan
utang begitu besar. Di hatiku tak bersisa secuil pun rasa hormat yang layaknya
dipersembahkan seorang anak kepada ayahnya. Lelaki itu, sepanjang hidupnya rajin
menoreh luka. Kupikir matinya akan membuat kami semua lega. Ternyata, sampai
akhir dia benar-benar ingin membuat kami menderita.
Orang bilang, tak baik
membicarakan hal-hal buruk tentang seseorang yang telah meninggal. Maka kucoba
membongkar arsip di otak dan hatiku, berusaha mencari kenangan manis tentang
lelaki itu. Berapa kali pun kucoba, tetap nihil hasilnya. Semua catatan
tentangnya hanya tentang luka dan kebencian semata.
Bukan sekali dua kali kulihat
memar di wajah ibu, yang membuat memar pula di hatiku. Tak jarang pula
anak-anaknya merasakan pukulan itu, sejak tubuh kami masih terlalu kecil untuk
tangannya yang raksasa. Semua sawah dan kebun peninggalan kedua pasang kakek
nenek kami, telah dihabiskannya di meja judi. Perhiasan ibu yang diwarisinya
turun temurun juga tak berbekas lagi. Yang tersisa hanya rumah peninggalan
orang tua ibu ini.
Usiaku sepuluh tahun saat ibu
hendak melahirkan si bungsu. Bidan angkat tangan, ibu harus dibawa ke rumah
sakit di kota. Bang Hamid membagi tugas: aku mencari bapak, Deni membantu bidan
menangani ibu, dia sendiri mencari kendaraan. Malam itu aku berlari menembus hujan
berpetir, demi menemukan bapak. Kedai tempat bapak biasa minum, pos ronda di
ujung desa tempatnya biasa berjudi, hingga rumah wanita penghibur langganannya sudah
kudatangi, dia tak juga kudapati. Di kampung sebelah, kutemukan bapak tengah
menggelar pesta perkawinan dengan istri mudanya. Alih-alih pulang, bapak
menghadiahiku dengan tamparan. Malam itu, adik bayiku meninggal.
Sejak beristri lagi, bapak jarang
pulang. Rumah terasa tenang, meski setiap hari kami harus membanting tulang agar
tetap bisa makan. Sesekali bapak datang hanya untuk minta uang. Kami bersaudara
tak sudi menyambutnya, hanya mengawasi dari kejauhan. Kalau sampai dia memukul
ibu lagi, kami bertiga sudah siap untuk mengeroyoknya.
Keinginanku menghajar bapak
selalu surut setiap kali melihat ibu yang setia menyuguhkan kopi untuk pria
yang sudah tak layak disebut suami itu. Aku kerap menahan jatuhnya air mata,
saat melihat betapa khidmat ibu menyeduh kopi. Tenang, nyaris tanpa suara.
Satu-satunya yang kudengar adalah bunyi air panas dituangkan. Ibu mengaduk kopi
dengan perlahan, sama sekali tak terdengar denting sendok beradu dengan
cangkir. Bahkan meski bapak berminggu-minggu tak pulang, ibu selalu memarahi
siapa pun yang hendak memakai cangkir itu. Khusus untuk bapak. Kursi bapak pun
tak ada yang boleh menempati.
Kami bertiga tak pernah berani
bertanya, mengapa ibu tak pernah mau mengurus perceraian dan menikah lagi. Tak
sedikit pria yang berusaha mendekatinya, baik yang lajang maupun beristri.
Entah apa kebaikan yang pernah dilakukan bapak di masa lalu, hingga layak
mendapat cinta dan kesetiaan dari wanita semulia ibu. Cinta yang tenang,
mengagumkan sekaligus dan menyedihkan.
Hari ini pun, ibu terlihat sangat
tenang. Tak ada setetes air pun menggenangi mata tuanya. Ibu hanya duduk diam
di kursi bapak. Para tamu yang berdatangan menyampaikan belasungkawa ditanggapinya
dengan anggukan kecil saja. Istriku berulang kali mengingatkan ibu untuk makan,
tapi beliau tetap bergeming di tempatnya. Melihatnya begitu, tak mungkin aku
tega menyampaikan tagihan sebesar empat puluh juta.
*****
“Apa? Empat puluh juta?” Bang
Hamid terbelalak setelah mendengar ceritaku. Kutarik telunjuk ke bibirku,
sebagai kode agar dia merendahkan suara.
Jangan sampai orang lain mendengar perbincangan memalukan tentang utang.
Terutama ibu.
“Suruh saja istri mudanya yang
bayar. Dia yang selalu diberi nasi saat kita makan ubi.” sengit Deni.
“Dia sudah lari dengan pemuda
yang menggelapkan uang KUD tempo hari.” aku menjelaskan situasinya.
“Puih..! Tak sudi kukeluarkan
sepeser pun uang untuk pria menjijikkan itu. Biar saja dia membusuk di neraka!”
suara Deni meninggi, hingga kuberi isyarat untuk diam.
“Kalian tahu kan, aku telah
banyak berkorban. Saat kalian belum bisa mencari uang, aku sudah jadi kuli di
pasar. Sekolahku pun hanya sampai SMP, sibuk berdagang demi kalian. Kalau
dihitung dengan nilai uang sekarang, piutangku sudah lebih dari empat puluh
juta.” ujar Bang Hamid sambil mengusap keringatnya.
“Kalau mau perhitungan begitu,
akulah yang merawat ibu sampai sekarang. Menjaganya dari kejahatan bapak kalau
dia datang. Bahkan untuk mengamankan sertifikat rumah, aku berkelahi dengan bapak…”
emosiku mulai terpancing.
“Merawat ibu atau menumpang? Bang
Ilham ini cari alasan saja. Jangan-jangan uang jajan anak-anak Abang dari ibu
juga.” tuduh Deni. Aku merasa tertohok. Gajiku sebagai guru honorer dan
penghasilan istriku sebagai bidan desa yang tak kunjung diangkat jadi PNS,
memang tak cukup untuk mencicil rumah. Apalagi kami masih punya dua balita.
“Kamu sendiri, apa yang sudah kau
berikan? Uang SPP kauhabiskan, kuliah drop
out, sekarang menjenguk ibu pun jarang.” Aku balik menyerang Deni.
“Aku merintis bisnis, Bang.
Setidak-tidaknya aku tak merepotkan ibu seperti Abang.” Deni membela diri.
“Kau sudah pintar berbisnis? Kaya
kau sekarang? Bagus. Kau bayarlah utang bapakmu itu!” seruku.
“Dengar. Kalian berdua bagi rata saja
tanggungan Bapak. Ilham, pinjamlah dari koperasi sekolahmu, setiap bulan
dipotong gaji, lunas juga nanti tanpa terasa. Kau dan istrimu kan sama-sama
bekerja. Deni, aku tau betapa ramainya tokomu di kota. Lagipula kau masih
lajang, tak punya tanggungan.” usul Bang Hamid.
“Bang Hamid sendiri? Bebas? Enak
saja!” protesku.
“Aku cuma buruh, istriku tak
bekerja pula. Si sulung tahun depan masuk SMP, kedua adiknya juga perlu biaya.
Lagi pula kalau bukan karena aku, tak mungkin kalian jadi seperti sekarang.”
Bang Hamid lagi-lagi mengungkit jasanya.
“Aku masih punya utang di bank.
Memangnya kalian pikir dari mana aku dapat modal untuk membuka toko? Aku juga
sudah berjanji melamar Marni tahun depan, pasti perlu uang.” urai Deni.
“Jadi bagaimana? Kalian mau ibu
menghabiskan masa tuanya dengan menghadapi para penagih utang? Aku cuma guru
honorer, tapi demi ibu tak mengapa kalau harus mencicil sepertiga utang bapak.
Ingat ya, sepertiga!” tegasku.
“Ah, di sini kalian rupanya.” seseorang
menepuk bahuku.
“Pak RT mencari kami?”
“Iya, ada yang harus kubicarakan
dengan kalian. Beberapa hari yang lalu, ibu kalian memintaku mencarikan pembeli
rumah. Sekarang sudah kutemukan calon pembelinya.” kata Pak RT.
“Ibu mau menjual rumah?” tanya
Bang Hamid.
“Iya. Pak Anton yang mencari lahan
untuk minimarket tadi sudah datang melihat-lihat. Tampaknya cocok. Tapi karena
sedang suasana duka, kuminta kembali lagi saja besok.”
“Rumah kami dihargai berapa
olehnya?” tanya Deni.
“Tujuh puluh juta. Kalian nego
saja lagi nanti. Jangan lupa komisiku ya.” jawab Pak RT sambil berlalu.
Kami bertiga berpandangan dan
saling tersenyum. Terdengar suara Kyai Rohim memimpin doa, tanda acara tahlilan
akan dimulai. Kami bergegas masuk ke rumah. Tak seorang pun di antara kami yang
bersuara, sibuk dengan pikiran masing-masing.
*****
Sehari setelah pemakaman bapak,
abang dan adikku kembali ke kota. Mereka menyerahkan segala urusan penjualan
rumah dan utang bapak kepadaku. Istriku tak keberatan kalau kami harus
mengontrak rumah bersama ibu setelah rumah ini dijual. Semoga kami segera bisa
mencicil rumah sederhana.
Pagi tadi, kembali kulihat ibu
menyeruput kopi sambil duduk di kursi bapak. Tenang, khidmat, nyaris tak
bersuara. Tak lama kemudian, beliau berpamitan untuk pergi ke makam dan menolak
ditemani. Mungkin ibu ingin menumpahkan dukanya sendiri di sana, menangis tanpa
dilihat anak cucu. Sejak kematian bapak, tak seorang pun dari kami melihat air
mata ibu. Diam-diam aku berdoa, semoga istriku mencintaiku dengan cara yang sama
seperti ibu mencintai bapak. Cinta yang tak masuk akal bagi kebanyakan orang.
Agung dan tanpa syarat.
Menjelang tengah hari, ibu tak
kunjung kembali. Istriku memintaku segera menyusulnya, khawatir terjadi
apa-apa. Tapi tak ada ibu di makam bapak. Jantungku berdetak kencang. Berbagai kemungkinan
buruk berkelebat di kepalaku. Aku menyapukan pandangan ke seluruh pemakaman,
berharap melihat ibu berjalan pulang.
Kekhawatiranku sirna saat melihat
seorang wanita bersimpuh di samping sebuah nisan mungil. Makam adik bungsuku.
Aku mendekat perlahan, tak ingin mengusik kekhusyukan doa ibu. Langkahku
terhenti saat kudengar suara ibu.
“Nak, sudah kubayarkan utangmu.
Beristirahatlah dengan tenang.” ucap ibu lirih, sambil meletakkan sebuah botol
kaca di samping nisan. Dari balik punggung ibu, dapat kubaca tulisan yang
tertera di botol itu itu. Arsenik.
*******
Note:
Arsenik adalah suatu unsur kimia
semilogam dalam bentuk bubuk putih tanpa bau dan rasa, yang bersifat larut
dalam air. Keracunan arsenik dapat terjadi dalam dua cara, yaitu akut dan kronik. Akut berarti arsenik diberikan dalam satu dosis tunggal yang sangat besar dan langsung mematikan. Sedangkan
cara kronik adalah memberikan arsenik dalam dosis tidak mematikan berkali-kali
ke dalam makanan korban sehingga korban akan sakit-sakitan hingga meninggal.